Nampaknya,
gelandangan dan pengemis di seantero bumi ini sudah menjadi syarat eksistensi sebuah tempat.
Misalnya kota. Hampir di setiap kota besar ada pengemisnya. Coba saja melancong
ke kota kecil yang kotanya tidak begitu ramai, hampir tidak ada pengemis.
Apalagi di kampung. Kalaupun di kampung ada pengemis, biasanya masyarakat satu
kampung akan mudah tahu dan jadi bahan omongan.
Pengemis dan gelandangan adalah dampak negatif dari sebuah pembangunan yang tak bisa dihindari. Suka atau tidak suka, pembangunan di manapun dan kapanpun akan selalu berbenturan dengan negatif dan positif. Celahnya, tinggal pandai-pandai pengelola pembangunan tersebut memaksimalkan dampak positif untuk meminimalisasi negatifnya.
Suatu hari guru
saya baru pulang dari London. Ia habiskan satu bulan di London, dan dua minggu
keliling Eropa. Di rumahnya, ia berbagi cerita dan pengalaman bahwa London dan Eropa yang ia
bayangkan sebelumnya berbeda dengan kenyataan yang ia lihat sendiri. Salah
satunya adalah kehadiran pengemis dan gelandangan. Di hampir semua tempat yang ia kunjungi
selama perjalanan itu, katanya ada gepeng (gelandangan dan pengemis). That he needs just burger,
katanya. Semua pengemis Eropa minta duit dengan mengatasnamakan burger dan
sandwich. Kalau di Cairo, semua pengemis mengatasnamakan hagah lillah,
shadaqah lil miskin. Entah karena dogma apa, mereka bangga sekali mengaku
sebagai golongan miskin. Benar-benar gak ada rasa takut bahwa klaim sepihak itu
benar-benar dianggap doa sama Allah.
Selain kota,
pengemis juga jadi syarat eksistensi sebuah kuburan. Apalagi kalau kuburannya
ada label-label makam ulama, makam wali, makam bersejarah. Mesjid juga sama.
Seakan-akan ziarah kubur yang dilakukan atau salat di mesjid tersebut tidak sah jika tidak dibarengi dengan berinfak
kepada pengemis. Kira-kira begitu penafsiran si pengemis.
Banyaknya
pemberitaan negatif soal pengemis membuat saya gak terlalu minat untuk ngasih
duit ke pengemis. Ada pengemis yang pura-pura kakinya buntung, pura-pura
lumpuh, pura-pura banyak anak, pura-pura miskin, membuat saya selalu
berprasangka buruk ketika melihat pengemis jenis apapun. Ah ini pasti
pura-pura. Kalau di Purwakarta atau Bandung, saya lebih minat memberi kepada pengamen. Minimal mereka ada usahanya. Bahkan tak jarang lagu-lagu jalanan mereka cukup menghibur dan menginspirasi. Ya meskipun di kalangan mereka terjadi juga krisis kreativitas, di mana lagu indie yang sama dinyanyikan oleh pengamen yang berbeda-beda. Sampai hilang identitas penggagas aslinya.
Lihat saja
pengemis di kompleks Makam Imam Syafei. Mereka ngemisnya suka rada maksa, ngaku
gak punya apa-apa, ngaku belum makan, tapi ngemisnya penuh tenaga. Tarik-tarik
celana kita, melas maksa bermuka senga sambil ngopi kacang koaci. Pake sepatu
ada logo Nike tapi yakin Kw 17, pake jeans necis pula. Minta uang buat makan, tapi giliran dikasih roti Brunch, mereka gak mau. Kan geuleuh.
Pengemis di depan
Khoiru Zaman juga gitu. Punya ponsel pintar, terus koordinasian sama
temennya. Di depan mata saya sendiri, dia nelepon temennya. Temennya dari arah
sejalur kelihatan naik salah satu bis, dan dia sendiri naik ke bis yang lain. Untuk menjadi gepeng saja butuh koordinasi kerja sama yang matang dan terencana.
Saking takutnya
dari bahaya berburuk sangka, dulu pernah kami bertanya ke Ust. Shafwan, salah
satu guru di Markaz Lughoh Azhar. Takjubnya, beliau juga membenarkan bahwa di
Mesir pun banyak oknum gepeng. Bahkan menjadikan ngemis sebagai mata
pencaharian utama. Padahal, katanya, rumah mereka bagus-bagus, bahkan cenderung
mewah. Kalau pengemis saja ada oknumnya, kan kasian pengemis benerannya. Oknum
pengemis ini jadi perusak citra pengemis beneran.
Lanjut Ust.
Shafwan, kalaupun kita memang niat untuk bersedekah, cobalah tanya teman
terdekat siapa tahu ada yang tidak dikirimi uang oleh orang tuanya dan belum
kebeli muqorror, Insya Allah itu akan jauh lebih bermanfaat. Atau ada temen yang pengen ikutan daurah atau talaqi tapi gak punya ongkos, atau nyumbang
kutubussittah buat PMIK, beliin sendal buat WC di masjid, sediakan
barang-barang untuk kepentingan umum yang akan dirasakan banyak pihak, atau
sedekah tenaga untuk kemaslahatan seperti ... hmm.... bersihin WC Masjid Sidna Husein.
Biar agak wangi dikit.
Nah, omongan Ust.
Shafwan ini ternyata saya alami beberapa minggu lalu. Suatu siang saya pernah bertemu
dengan orang yang mengaku asal Nigeria, namanya Mr. X di dekat Mahattoh Darrasah.
Ia menyapa, bertanya soal saya tholib Azhar atau bukan, dia mengenalkan diri sebagai
mahasiswa Bahasa Arab (ternyata satu tingkat beda kelas), nunjukkin kerneh
(kartu pelajar) untuk meyakinkan, dan waktu itu minta duit 1 pound untuk naik
bis balik ke Buuts.Hari itupun berlalu dan tak begitu dianggap penting.
Di Maktabah
Kuliyyah, saya sedang antri buat beli buku. Antriannya cukup panjang karena
berbaur antara mahasiswa Bahasa Arab dan Ushuluddin. Di depan saya
ada seorang kawan Nigeria, namanya Awwal. Di belakang saya ada juga kawan
Nigeria, namanya Mr. X kemarin. Omaygat.
“Akhii, kamu
Jurusan Bahasa Arab?” tanya si Mr. X.
“Iya. Kamu juga?”
“Iya. Jadi gini
Akhii, hmmm.... oh ya nama saya Mr. X, saya tinggal di Madinat Buuts. Saya mau
beli buku tapi kurang 20 pound. Boleh minta 10 pound? Nanti 10-nya lagi saya
cari ke yang lain.”
Dalam hati, orang
ini niat gak sih beli buku, sangat tawakkal sekali datang ke Maktabah
tanpa bawa duit. Tapi karena inget saran Ust. Shafwan, akhirnya saya iyakan. Minimal
kalau bantu beliin muqorror bakal ada manfaatnya.
Tapi saya heran,
kok dia kenalan lagi padahal sebelumnya sudah pernah kenalan dan pernah
bertemu. Pernah minta duit pula. Masa dia lupa sama saya? Apa aku ini punya
bakat mudah dilupakan? Huh.
Saya juga jadi
penasaran, bukannya anak Buuts itu udah dapet jaminan muqorror gratis ya? Bahkan uang bulanannya aja udah hampir setara dengan kerja ngehonor di Atdik. Bisa meureun buat naik
bis 80/ sabulaneun mah?
Pola yang sama
dan mengherankan juga pernah terjadi di Bawabah. Suatu malam, saya sedang jalan
menuju rumah. Ada bapak-bapak nyapa dari belakang dan tiba-tiba kenalan. Dalam
hati saya rada takut, jangan-jangan ini copet atau mau ngehipnosis atau atau
atau. Katanya dia ustadz Kulliyyah Ushuluddin Al-Azhar di Tanta. Dia bawa mushaf
dan nunjukkin itu seolah-olah dengan mushaf itu, saya akan percaya bahwa dia
seorang ustadz Ushuluddin. Ujung-ujungnya, dia minta duit buat ongkos balik ke
Tanta, lantaran istrinya sedang hamil di Tanta. Omaygat. Masa sih seorang guru
berlabel Azhari sampe segitunya?
Itu kejadian
waktu saya masih jadi Maba lutju. Selang dua tahun kemudian, waktu lagi jalan
di Awwal Makram, orang yang sama nyapa lagi dari belakang, kenalan lagi dengan
kabar yang sama. Sebelum ia beres bicara, saya potong omongannya dan tanya “istrimu
hamilnya dua tahun belum lahiran sampe sekarang atau hamil baru lagi?” Dia diem.
“Kamu ustadz Ushuluddin di Al-Azhar Tanta kan?” Dia diem lagi. “Kalau mau minta
ongkos buat balik ke Tanta, ma’lesy.” Skak!
Mustahil rasanya
ada guru Al-Azhar yang begitu. Mereka, sepengetahuan saya, tidak pernah
ada yang mengemis. Justru yang ada adalah banyak memberi. Banyak di antara guru
kita yang bagi-bagi makanan ke santri-santrinya, ada yang sampe ngasih rumah
gratis, ngasih uang bulanan, ngasih sembako, bahkan ada pula yang ngasih jodoh.
Padahal ilmu yang mereka bagi juga sudah sangat-sangat luar biasa.
Maka, marilah
kita sama-sama bijak dalam bersedekah kepada pengemis. Saya tidak melarang
untuk memberi ke pengemis, tapi kiranya masih banyak cara untuk bisa ber-tathawwu’
di jalan Allah selain memberi kepada
pengemis.
Lagian sebenarnya
yang dibutuhkan pengemis itu tidak selalu duit. Contohnya ibu-ibu yang suka
nongkrong di Bawabah 3. Ibu-ibu itu selalu mangkal dengan bawa anak-anak. Kawan saya pernah bilang bahwa yang mereka butuhkan itu bukan duit, tapi
sosok seorang ayah yang siap memberikan perhatian kepada keluarga kecil itu.
Kata saya mah, kalian yang pada bingung nyari calon istri, kenapa gak nafkahin aja pengemis Bawabah
itu? Insya Allah berkah da ... hehe...
Atau gadis-gaids bergaun hitam yang suka nawarin tisu di bis. Bisa jadi mereka itu tidak benar-benar butuh duit, tapi butuh perhatian kamu. Para gadis kan kadang suka gitu kalau ngode-ngode minta perhatian. Sok-sok-an nawarin tisu, atau bagiin permen. Ketika permen ia bagikan ke seluruh penumpang bis, termasuk ke tempat dudukmu, yang ia harapkan adalah ketika ia mengambil kebali permennya, di waktu yang sama tangan kamu juga mengambil permen itu. Tangan kalian bertemu untuk pertama kalinya, dan saling menitipkan sidik jari masing-masing. Pada tangan beraroma matahari itu, ada harapan yang lama terpanggang, lalu tangannmu adalah musim semi yang membuatnya menjadi teduh. Tatap matanya dengan seksama, lalu menyelamnya ke kedalaman tatapannya. Perhatikan kornea matanya. Jika membesar, itu artinya kamu harus siap-siap menerima tamparan. Terkadang hal-hal semacam itu yang bikin para cowok gagal peka dalam pedekate.
Ketika berpikir
untuk menulis tentang pengemis di suatu bis, saya sedang duduk berdampingan
dengan seorang kawan. Dari jauh, Pak Kernek datang menagih janji dan
kepastian ongkos.
Kata kawan saya, “udah ini aja pas dua pound!”
“Eh jangan, biar
punya saya aja sekalian saya gak ada fakkah (receh) biar jadi
pecah” kata saya.
“Eh jangan, ini
aja. Kasian Ammunya suka susah nyari fakkah!” Akhirnya saya jadi naik
bis gratisan.
Di lain waktu,
pola yang sama juga saya alami. Bukan sekali dua kali, tapi banyak.
Dipikir-pikir, seru juga ya tiap mau bayar sesuatu, nyari temen dulu terus
ngaku gak punya fakkah.... hehe....yang kek gini namanya ngemis bukan?
Maret, 2017.
Komentar
Posting Komentar