Di masa Rasulullah dulu, nama Hasan bin Tsabit muncul sebagai sastrawan
yang punya pengaruh cukup besar. Separuh hidupnya dijalani di masa Jahiliyah,
dan menikmati separuh sisanya menjadi seorang muslim yang luar biasa.
Seandainya media massa pada abad itu sudah semodern saat ini, barangkali Hasan
bin Tsabit adalah orang media paling berpengaruh dan paling bermanfaat
dibanding lagu wajib Perindo di setiap iklan sinetron Si Boy.
Hasan bin Tsabit adalah sahabat Rasul yang maksimal, saya kira, menggunakan
kemampuan dirinya sebagai jalan dakwah. Syair-syairnya mampu menyihir banyak
orang, bukan karena unsur ekstrinsik semata, tapi karena ada kebenaran yang
sedang disampaikannya. Apa yang disampaikannya di Pasar Ukaz, di Pasar Sastra,
pada umumnya mampu membombardir stigma buruk terkait Islam dan Rasulullah. Maka
tak heran berkat kepiawaiannya dalam menulis itu mampu mengantarkan banyak
orang menemukan hidayahnya masing-masing.
Saya ingin sekali mencontoh Hasan bin Tsabit. Menyusuri langkah-langkahnya,
sama-sama menerbarkan risalah cinta Rasulullah, dan seperti yang karya-karyanya
lakukan, mampu menghadirkan kebaikan di hati-hati yang kebaikan belum hadir di
dalamnya.
Menulis bagi sebagian orang, termasuk saya, adalah bagian dari ekspresi.
Kamu tertawa ketika menemukan hal lucu, sedih ketika berduka, bahagia ketika
honor turun, atau marah ketika ditinggal pergi yang punya hutang. Karenanya,
menulis tidak bisa dipaksakan. Tidak bisa direquest hanya karena ada
maksud ditunggangi kepentingan. Seperti kata Seno GA, sastra (baca: tulisan)
mampu mengutarakan kebenaran ketika jurnalisme hanya bicara fakta. Fakta bisa
direkayasa, dimanipulasi, dikarang demi kepentingan tertentu. Tapi kebenaran
tak akan mampu diubah dengan cara apapun, karena ia akan muncul dengan
sendirinya.
Begitulah yang terjadi dalam kampanye Pilgub KPMJB dan Pemilu Wihdah-PPMI
Mesir. Dua momen itu meninggalkan banyak hal dalam benak saya. Pertama, apa
yang mahasiswa lakukan hari ini adalah miniatur dari apa yang akan mereka
lakukan di masa depan. Suatu hari, barangkali, calon gubernur yang kampanye di
KPMJB adalah calon gubernur yang akan kampanye di Provinsi Jawa Barat. Calon
Ketua yang kampanye di Wihdah hari ini, adalah calon ketua yang akan kampanye
di Kementerian, atau mungkin level Negara. Maka sepatutnya kita belajar baik
sejak muda. Sebagaimana pohon yang bengkok ketika tumbuh besar, lantaran tidak
diluruskan sejak dini. Kan, yang hari ini jadi koruptor juga dulunya pernah
jadi mahasiswa. Yang hari ini berhasil membangun kota dan negaranya juga pernah
jadi mahasiswa.
Kedua, kampanye di benak saya adalah momentum untuk perang testimoni.
Testimoni dari orang-orang yang dianggap punya pengaruh dan punya masa. Tidak
ada pengaruh dan tidak ada masa, tapi juga memberikan testimoni. Contohnya teman-teman
kandidat yang sedang studi di luar negeri. Dari Eropa, dari Asia, atau
aktivis-aktivis mahasiswa yang studi di Indonesia. Padahal apa pengaruhnya?
Masisir semalas apapun pergi kuliah pasti punya pemikiran bahwa mereka yang di
luar negeri ini hanya akan membantu kepengurusan sang calon ketua lewat
motivasi dan modal cocot semata. Paling banter juga nyumbang konsep, nyumbang
kalimat buat visi misi dan program unggulan, atau mungkin nyumbang anggaran? Atau
supaya terkesan punya banyak link?
Suatu hari ada pesan masuk via whatsapp. Dari Timses Cagub KPMJB, satu lagi
dari Timses Caket Wihdah. Keduanya minta saya untuk menulis tentang calon yang
mereka usung di blog saya. Bukannya saya gak mau, tapi banyak pertimbangan. Pak
Ocin dan Pak Aduy sudah pernah saya buatkan testimoni masing-masing. Dan
testimoni itu pernah saya tulis tanpa ada gambaran bahwa keduanya akan bersaing
memperebutkan kursi KPMJB-1. Tinggal dicari saja di berkas tulisan lama. Lagian
kan sejak awal saya sudah jatuh cinta sama Robby, tapi malah gagal nyalon.
Padahal kan saya pengen lihat kekalahannya. *loh
Untuk Dea dan Nuansa, ini adalah masalah besar. Saya gak punya alasan kuat
untuk menulis testimoni untuk keduanya. Karena saya khawatir, yang harusnya
testimoni malah jadi surat cinta. Kamu tahu sendiri kan dua orang ini? Semakin
digali informasinya, semakin dicari kebaikannya, semakin membuat kita menemukan
alasan bahwa keduanya adalah akhwat salehah yang akan menjadi tiang pemerkokoh
kesatuan bangsa. Kalau di belakang saya adalah salah satu atau dua-duanya dari
kedua orang hebat ini, wah kayanya saya bakal jadi pria hebat yang dimaksud
pepatah-pepatah itu. Saya udah sempat memikirkan testimoni apa yang akan
ditulis untuk Dea atau Nuansa, tapi jadinya malah absurd. Ini testimoni atau lagi
nyari kriteria calon istri? Mereka punya kelebihan yang tidak hanya seperti Majalah Bobo: teman belajar dan bermain.
Lagian kalaupun iya yang ditulis adalah surat cinta, rada ngeri-ngeri sedap
juga. Ketua Wihdah, men! Resikonya besar: antara dimiliki atau ditinggalkan.
Seperti.... ah sudahlah. Secara salah satu dari keduanya akan jadi tokoh
kenamaan di Masisir. Sementara aku, apa atuh cuma Maul. Di dunia ini tak ada
yang ingin dilahirkan sebagai Maul. Jadi Direktur Pasangrahan juga udah uyuhan.
Sekalipun kalau lolos screening MPA, itu karena faktor umur. Kan yang pada
nyalon jadi pengurus Pasangrahan mah masih unyu-unyu semua. Sementara aku?
Meminjam kata dari temen mah “awet tua”.
Akhirnya saya memutuskan untuk tidak membuat testimoni untuk keduanya. Juga
tidak membuat surat cinta untuk keduanya. Karena surat cinta sebelumnya belum
ada balasan. Yang mana? Surat cinta yang saya buatkan atas nama Emil untuk
incarannya. Kalau sudah pasti Emil ditolak, baru saya akan buat surat cinta
lagi. Meskipun semua tanda-tanda dunia ini mengalamatkan Emil ditolak (lagi),
tapi saya masih menunggu kepastiannya.
Yang unik dan perlu jadi sorotan adalah, kampanye ini bukan ajang untuk
berlomba-lomba meraih jabatan. Kita ini dianjurkan dan direkomendasikan Rasul
untuk tidak meminta jabatan. Kalau hanya berebut kursi KPMJB-1 atau Wihdah-1,
duniawi sekali, akhii..... Biar ada tawashou bil haq-nya, yang dikompetisikan
adalah hal-hal yang baik tanpa menjatuhkan yang lain.
Di salah satu grup yang saya ikuti, ada oknum yang kampanyenya bukan
mengunggulkan kelebihan calonnya tapi malah menjelek-jelekkan calon lainnya.
Padahal mereka sesama muslim, sesama anak Azhar. Tapi kok kek gini beud? Suatu
hari di masa depan nanti, oknum bermuka tongo ini akan pulang ke tanah air,
akan jadi orang kenamaan di kampungnya, akan punya jamaah yang setiap tutur
kata dan tingkah lakunya akan menjadi perhatian dari para tetangga dan ahlul
gosip. Kelak di hadapan jamaahnya, keburukan itukah yang akan disampaikan? Pemuka agama dan guru itu seperti dokter. Punya resiko gawat jika salah memberikan resep dan obat. Dokter salah ngasih obat, barangkali korbannya cuma si pasien seorang. Tapi pemuka agama atau guru salah ngasih ilmu, salah ngasih contoh, salah ngasih wawasan, itu satu kampung gesrek semua.
Seandainya saya admin grup, saya pengen kick oknum itu selama tiga jam.
Setelah itu dimasukin lagi. Harapannya setelah tiga jam itu kondisi hatinya bercahaya, dan jempolnya tidak banyak mengumbar black campaign tapi banyak mengetikkan salawat. Lumayan kan tiga jam bisa dipake salawatn dulu, atau murojaah Albaqarah juga bisa. Urusan dia berharap ada yang menahan-nahan
biar gak di-kick, bodo amat.
Selepas ini, jika ada yang bertanya “Kemarin pilih Ocin atau Aduy?” maka
jawabannya adalah Robby.
“Di Wihdah pilih Dea atau Nuansa?” maka
biarkan waktu yang menjawabnya. Jalani aja dulu, ya kan?
Aku pilih Roby juga sebenarnya, tapi ga jadi nyaloon 💔
BalasHapusMengecewakan banyak pihak ya wkwwk
Hapus