Politik itu memang penuh intrik. Makanya kenapa saya lebih suka kamu
dibanding politik. Kamu itu cantik tanpa intrik, manis tanpa sinis,
menginspirasi tanpa banyak ambisi.
Menentukan kriteria yang pas untuk ketua sebuah lembaga itu memang
gampang-gampang gampang. Tidak sulit
jika hanya menentukan. Yang agak sulit itu mencari dan menjadi. Padahal,
kriteria untuk jadi Gubernur KPMJB misalnya, semuanya tersusun dan tinggal
dibaca di lembar persyaratan yang dikasih panitia.
Di poin pertama, Cagub KPMJB harus beragama Islam. Haqqul yaqin semua warga
KPMJB beragama Islam. Ya meskipun salat subuhnya mepet duha, atau maen PES-nya
lebih sering dibanding baca Alqurannya, mereka tetep Islam kok. Kecuali jika di
KPMJB ada Cagub nonisnya, pastilah politik KPMJB akan lebih seru dibanding Pilkada DKI, sebab panitia SPA penunggu meja
pendaftaran Cagub adalah gadis cantik asal Tambun, sementara penunggu meja
pendaftaran Pilkada Jakarta hanyalah orang-orang berusia yang pernah cantik.
Poin berikutnya sampai akhir adalah standar, sebagaimana yang tertera di
hampir semua organisasi. Berakhlak baik, berwawasan luas, siap tidak pulang ke
tanah air selama menjabat, siap tidak menikah selama menjabat (kalau pacaran
masih boleh, kecuali untuk anak Syariah: Haram Muthlaq. Sebab dalam Syariah
Islam tidak ada istilah pacaran), punya kemampuan manajemen organisasi yang
baik, dsb. Yang khusus-khususnya hanya harus siap tinggal di Sekretariat dan
harus tampan.
Teman-teman, jadi gubernur kalau tidak tampan itu sulit. Meskipun ada
istilah tampan itu nasib dan mapan adalah pilihan, nyatanya istilah itu tidak
relevan untuk dikaitkan dengan Calon Gubernur KPMJB. Yang tampan itu biasanya
dihargai dan disegani sama warganya. Ya meskipun tampan-tampan bego, tapi tetep
ada wibawanya. Minimal dia punya popularitas yang bisa dimanfaatkan. Kan
semakin terkenal, semakin punya kesempatan untuk bisa mengenalkan Allah dan
Rasulnya .... Bayangkan jika KPMJB dipimpin oleh seorang imam yang tidak hanya
berperan sebagai imam ‘politik’, tapi juga imam ‘agama’. Imam yang tidak hanya
memikirkan KPMJB jadi kekeluargaan terbaik, tapi juga memikirkan bagaimana
warganya bisa menjadi kekasih dunia akhirat.
Uniknya, roda organisasi yang makin dinamis nyatanya juga membuat pola
pikir warganya dinamis. Kriteria dan syarat untuk nyalon ketua yang nyatanya
sedikit, di zaman ini banyak aturan tambahan tidak tertulis. Sebut saja
Fitrianto. Ukhti satu ini gak mau pilih Kang Ahan, karena dia suka dangdut. Dan
lebih memilih Maul. Padahal, Maul adalah bandar dangdut. Bedanya, Ahan suka
joget di depan umum dan Maul tidak suka di depan umum. Kang Ahan belum tentu
punya kartu member Inul Vizta, sementera Maul ....
Intinya, janganlah terlalu selektif dalam memilih calon gubernur. Karena
jika terus-terusan mengejar idealisme,
nampaknya sampai muqoror berbahasa Indonesia pun tidak akan
ketemu-ketemu. Meskipun gak sempurna, minimal pilih yang kelebihannya mampu
menutupi kekurangannya.
Ada calon yang strateginya bagus, tapi badannya kaya binarangka. Taktak
wadah sabun. Ada yang tampan berkarisma, tapi ke urinoir toilet aja gak nyampe.
Ada juga yang badannya bagus, wajah oke, tapi cipleu. Jika kita memandang orang
selalu dari kekurangannya, gak akan ada habisnya dan gak akan ada baiknya.
Seperti lalat, yang indah di matanya hanyalah ta*. Iya kan, Lat?
Februari, 2017
Komentar
Posting Komentar