Aku mengenal Fatia pada hari Sabtu lalu. Waktu itu kami
berada dalam rombongan rihlah yang sama menuju Matruh lalu Siwa. Fatia yang
duduk di kursi dekat pintu masuk bis, membuatku selalu punya kesempatan untuk
bisa berpapasan dengannya. Untuk saat itu saja, aku sudah tertegun. Betapa
cantiknya! Ia bersama dua adiknya tidak terlihat banyak bicara, tidak pula
banyak bertingkah. Meskipun ada niqab menutupi senyumnya, namun aku begitu jeli
menerjemahkan kecantikan di balik sorot mata yang ia lemparkan ke arahku.
Hanya sepatah dua patah yang ia tuturkan. Begitu hasil
pengamatanku dari jauh. Dari balik batu karang di Pantai Cleopatra, pepohon di
Perkebunan Kurma Siwa, atau justru dari tempat dudukku yang hanya terhalang
beberapa baris dari tempatnya duduk dalam bis. Ingin sekali mengajaknya bicara,
kalau bisa bercanda. Tapi sungguh itu pekerjaan yang sulit. Sulit sekali
kutemukan topik untuk membuka percakapan yang telah ia mulai pertama kali lewat
matanya. Setelah melemparkan tatapan itu, ia lebih banyak menunduk, dan
bercengkrama dengan dua adik perempuannya.
Saat itu sudah siang. Matahari sedang bernapsu menghabiskan
panasnya sebelum musim dingin menyelimuti utara Afrika. Agenda kami adalah
mengunjungi perkebunan kurma di Pulau Fatnas. Di perkebunan kurma terluas di
Mesir itulah kami menghabiskan penasaran soal bagaimana memetik kurma dari
pohonnya. Mencari yang masih muda, memanjat pohonnya, juga memetik zaitun dan
mencicipi pahitnya langsung di atas pohon. Selepas itu, ruang bis seperti tabung
yang menghimpun segala ngantuk dan lelah. Anganku telah sepenuhnya melesat
kepada si pemilik mata cantik itu. Aku teringat pada bulu mata yang meliuk bak
ombak bergelombang. Dan bola matanya yang sesekali kuintip, begitu sayup dan
teduh, dengan bulu mata yang menerawang tipis. Ketika kami membuat lelucon dan
tertawa, ia hanya menggeser garis matanya sedikit ke samping. Ada senyum yang
disembunyikan, seolah seluruh hidupnya diliputi satu misteri. Ya ampun! Ia
bagai teka-teki yang menawan!
Semakin waktu, aku merasa cemburu pada niqab yang senantiasa
menemani wajahnya. Betapa bahagianya kain itu mampu mengetahui apa yang
dibisikkan dan senyum yang disembunyikan. Atau pada maskara yang mampu berada
begitu dekat dengan mata indah penuh teka-teki itu. Atau pada boneka beruang kecil yang sepanjang jalan senantiasa di pangkuannya. Oh, betapa beruntungnya boneka itu. Mampu begitu dekat dengan dirinya, bahkan selalu dalam genggam tangannya.
Suatu waktu saat kami istirahat di sebuah kafe untuk makan
siang, Fatia melepas niqabnya. Saat itulah aku paham mengapa ada senyum yang
seharusnya disembunyikan. Ia terlalu cantik untuk dilihat mata lelaki lain!
Sesekali ia menggeser bibir tipisnya ke samping, saat mulutnya sibuk mengunyah
ikan bakar dan nasi putih di balik landasan pipinya. Saat mengunyah itulah,
tatapannya memergokiku sedang menatapnya dari jauh. Samar-samar kulihat pipinya
memerah, lagi-lagi menyiratkan teka-teki baru yang muncul tanpa kalimat. Lalu
setelah momentum makan itu, momentum lainnya susul berdatangan memberiku
beberapa kali kesempatan untuk melihat senyumnya secara utuh. Tidak hanya
matanya yang berbicara, atau bulu mata yang menerawang, tapi juga mancung
hidungnya, merah pipinya, juga garis bibir yang entah bagaimana cara
menerjemahkan pesan di sebaliknya. Dengan atau tanpa izinnya, aku, laki-laki
yang tak tahu diri ini, telah jatuh hati kepada Fatia.
***
Kubayangkan suatu hari Fatia benar-benar menjadi kekasihku.
Aku ingin berjalan berdua bersamanya, mungkin di suatu malam Sabtu, dengan
tangan bergandengan tangan dan kaki telanjang yang terbenam di pesisir Pantai
Dahab atau Hurghada. Kami akan kelelahan dan berhenti untuk membeli dua cup
es krim, lalu menikmati hujan bintang yang gempita. Atau berdua kembali
mengunjungi Matruh dan Siwa, lalu mengenang bagaimana semua ini bermula.
Sandboarding di Sahara Siwa dengan papan luncur yang sama, memetik kurma dari
pohonnya lalu menyuapkan sebiji di ambang bibir tipisnya, atau melihatnya
meringis manja ketika pahitnya zaitun mendarat di lidahnya. Dari semua
kemungkinan itu, yang paling kuinginkan adalah duduk berdua di kafe tepi tebing
Mukattam, ditemani beberapa nyala lilin, kami makan kue keju (mungkin dalam
rangka perayaan ulang tahun atau bahkan hari bukan ulang tahun), serta diiringi
lagu Tetgawezeny milik Hany Adel, atau Awwal Youm milik Mohamed
Hamaki dan Donia Samir Ghanem.
Ketika aku nyenyak dalam khayalan itu semua, tiba-tiba aku
didera rasa takut yang mengerikan. Bagaimana tidak? Perasaan ini
sungguh-sungguh membuatku kacau tanpa henti. Sepanjang siang itu, aku merasa
serba salah, salah tingkah, dengan pikiran yang sibuk oleh rencana-rencana
penuh ekspektasi. Sebagaimana jatuh cinta pada umumnya, jantungku berdebar
berdetak lebih banyak dan cepat dan aku begitu inginnya siang tak segera
menjadi malam dan malam menjadi begitu lama sebelum menjadi pagi. Ada rindu
yang sedang dibangun, sekaligus ada khawatir yang juga tersusun. Bagaimana jika
selepas rihlah ini, ia tak pernah muncul lagi di dunia nyata? Bagaimana jika
setelah rihlah ini, kami akan terpisahkan jarak yang jauh? Bagaimana jika
sebenarnya ia telah menjadi kekasih lelaki lain? Bagaimana jika ...
Ah, memikirkan jika-jika itu hanya membuatku patah hati dan
urung diri. Aku harus segera memastikan bahwa ia tak memiliki kekasih, dan
sebelum benar-benar ia punya kekasih, aku harus segera bertindak. Tapi
bagaimana caranya, jika untuk memulai percakapan saja aku masih mencari-cari
topik pembukanya. Ingin sekali kubicarakan hal ini pada temanku yang juga satu
rombongan rihlah denganku. Tapi sungguh mati, aku tak berani menanyakan soal
Fatia kepada temanku. Alih-alih mendapatkan jawaban, yang ada adalah khawatir
temanku juga akan turut jatuh hati padanya.
Namun suatu waktu akhirnya aku tahu akun instagramnya.
Sekaligus dengan akun kedua adiknya. Ingin sekali kuberikan tanda suka di
setiap fotonya, tapi sebagaimana seharusnya, aku lebih memilih untuk menyimpan
segala rasa suka ini dalam diam terlebih dahulu. Tak satupun double tap dilakukan,
tak juga satu komentarpun dikirimkan. Padahal di hampir setiap kesempatan,
instagramku hanya berfungsi untuk melihat stories yang direkamnya hampir
di setiap kegiatan. Ah sialan! Aku masih saja tak berani mengajaknya bicara
meski hanya di instagram! Apa jadinya kalau aku menyukai foto-fotonya,
mengomentari kegiatannya, mengirim pesan langsung kepadanya, lalu dia tahu
bahwa aku sedang jatuh cinta kepadanya secara menggebu-gebu? Harus kuatur
sedemikian rupa seolah-olah aku mendapatkan akunnya secara kebetulan saja.
Kalaupun ia bertanya, aku harus memutar-mutar agar tak langsung diketahui bahwa
aku tengah dimabuk cinta. Entah apa yang kukhawatirkan jika ia tahu aku sedang
jatuh cinta padanya. Aku hanya ingin memastikan dulu bahwa ia juga tertarik
kepadaku sebelum akhirnya ia tahu bahwa aku tergila-gila kepada si pemilik mata
indah itu.
***
Memang benar kata temanku. Lelaki sebaiknya sedikit mengakrabkan diri dulu dengan gadis pujaannya sebelum melakukan pendekatan secara serius. Barangkali aku cukup katakan secara kebetulan mengikutinya di Instagram, atau karena menemukan postingan acak foto-foto rekomendasi terkait salah satu fotonya yang tak sengaja kena double tap di barisan paling lawas. Aku benar-benar merencakan permulaan ini dengan serius, dan akan melanjutkannya dengan berbagai hal remeh temeh.
"Fayum ..."
Oh tabik! Dia mengirim pesan duluan di Instagram! Bagaimana bisa dia memulai percakapan sebelum aku memulainya? Oh Tuhan, betapa nikmatnya rizki yang Kau ciptakan dalam Instagram ini! Ia memulai percakapan!
"Iya lagi di Fayum. Pernah pegi sini ke?"
"Sudah tiga kali haha"
"Dah lama duduk di Mesir ke?"
"Baru 3 thn je haha"
"Owalah... sudah jelajah semua tempat sini kah? Sya jadi banyak tanya macam ni haha"
"x banyak baru sikit je. Sy takjub tampk awak sudah jelajah banyak destinations kat sini."
"Ah takpayah takjub mmg hobi sy pusing-pusing terus haha..."
Begitulah kami bermula. Tidak dengan siapa namamu di mana rumahmu. Tak lama sejak momen saling mengikuti di Instagram, ia cukup sering mengomentari kegiatan yang kubagikan di stories-ku. Tentang makanan yang dimakan, kafe terbaik di kota, musik favorit, atau soal orang-orang Indonesia yang aneh di matanya, juga orang-orang Malaysia yang aneh di mataku. Kami saling mengomentari satu sama lain, dan membagi tawa satu sama lain.
Sampai tibalah suatu gelap menyelimuti malam di ambang musim dingin. Kami melanjutkan obrolan dari topik yang terputus.
"Cafeny dkt area Heliopolis, art space + cafe tp mahal sikit x min charge 35 le huhu ...." jawabnya menyambung pertanyaanku soal es krim yang menemani harinya suatu siang.
"Kok sendiri je nongkrong di sana? Biasanya one package dengan dua baby sister you?"
"Mereka stay je di rumah. Sebab malam ni sya nak pergi sendiri..."
"Macam me time kah?"
"Ah ya, sebab sy sedang sedih..."
"Sedih?"
"Ah ya, sebab my husband balik mesia tadi sore."
" ... "
***
Sejak saat itu, aku tak lagi penasaran dengan pemilik mata indah itu. Tak lagi peduli dengan senyum yang disembunyikan, atau kalimat yang hanya dibisikkan. Aku tidak merasa kehilangan hanya karena tatapan yang tak sepenuhnya kuselami dengan baik. Aku hanya tak bisa membayangkan bagaimana menjadi lelaki yang pulang ke Malaysia sore itu. Betapa ia punya separuh jiwa, yang senyumnya pernah ditujukan untuk pria lain.
Sebagaimana yang pernah kualami sebelumnya.
Based on fake story.
----------------------------
38000 - 40000 feet
Etihad Airways // EY 471 Jakarta - Abu Dhabi // EY 653 Abu Dhabi - Cairo
27 Januari 2017
sedih mang, lagi2 hehe
BalasHapusWkwkkwkwkwk... Base on fake Story but still real 😂😂😂😅.
BalasHapusBagiqn yang paling atit pas "Sebab my Hisband balik Mesia tadi sore"😭