Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Fi Intidzoorik, Yaa Mak Ci!

Saya sedang jatuh cinta pada Malaysia. Bukan pada negaranya, tapi pada Mak Cik-nya. Bodo amat dia mau hafal Alquran atau Alfiyah, yang jelas we can judge her by her cover. Kerudungnya warna-warni, jenis kainnya tebal, warnanya menarik, sehingga saya yang melihatnya tidak sebatas mengatakan "Subhanallah", tapi juga "Subhanallove" karena mereka itu bikin teduh dan bawaannya pengen mengimami.

Beruntunglah tetangga rumah saya adalah akhwat Malaysia. Saya yang tinggal di lantai ardhiyyah (dasar) menjadi keberuntungan sendiri karena mak cik itu tinggalnya di lantai atas. Tiap mereka turun tangga, dan berpapasan di lobby imaroh, uwuwuwuw..... angin segar berhembus bak oase di tengah sahara.

"Assalamualaikum ustadz...." ujar salah satu dari mereka yang biasanya berjumlah tiga atau empat orang. Pastinya saya akan menjawabnya dengan berbagai pertimbangan. Jawabannya harus terkesan sebagai ustadz yang cool, yang tetap terkesan gadhul bashar, dan memiliki citra sebagai tetangga yang ramah dan suami-able. Jirr, kompilasi yang sulit!


"Waalaikumsalam ustadzah..." sialnya selalu berhenti sampai jawaban ini. Padahal saya punya ekspektasi lebih. Semisal, berangkat kuliah ya, atau nak pegi ke mane ustadzah, atau mampir sini dulu, atau saya bisa bikin cutterme loh, atau kamu liat gak kalo aku lagi ngeruk sampah, atau nanti malam punya agenda gak, atau sudah punya calon belum?

Bagi jomblo, dapet ucapan salam di depan pintu rumah aja udah uyuhan. Ini bukan hiburan, tapi doa tulus dari seorang mak cik tentang harapan keselamatan dan kasih sayang Allah untuk saya. Subhanallove. Meskipun, kadang-kadang, suudzonnya, salam itu cuma bahasa lain dari, eh awas, kita mau lewat!

Hanya dari penampilan saja, kita bisa membedakan mana perempuan Indonesia/I (bukan Indon!), dan mana perempuan Malaysia/M. Jenis kerudung perempuan M nampaknya punya bentuk yang terbatas. Kain lebar dengan sudut tumpul di keempat ujungnya. Menjuntai dari atas kepala dan hampir bisa dipastikan selalu menutupi seluruh bagian punggung dan kedua bahunya sampai titik otot triseps. Tapi keterbatasan bentuk inilah yang justru menjadi identitas, sehingga ketika melihat luarnya saja, kita menyimpulkan, "Yes, she's Malaysian." Orang Brunei, Thailand dan Singapura juga nampaknya demikian. Ada keseragaman dalam cara memakai kerudung. Lain hal dengan akhwat Brunei, meskipun kerudungnya selintas sama seperti dedek-dedek Malaysia, tapi biasanya mereka punya motif khas di rok dan bajunya. Beberapa mahasiswi kedokteran/farmasi biasanya memakai celana, tapi tetap saja mayoritas mereka menggunakan jilbab segi empat, alias jilbab santri.

Sedangkan perempuan Indonesia yang di Mesir, kerudung punya banyak jenisnya. Meskipun tak sebanyak yang digemari anak-anak jilbabers hits Bandung Jakarta. Dari yang simpel elegan sampai syar'i elegan, semuanya ada. Ada kerudung yang tinggal jeblosin kepala, ada yang seperti taplak meja lalu dilipat segitiga, ada kerudung besar sampai pinggang, tapi di bagian tangannya bolong, ada yang bentuknya standar tapi cara pakenya banyak lilitan, ada dua kerudung di-combine jadi satu mirip anyaman ketupat, dan sebagainya. Yang sekarang lagi hits, jilbab gaya-gaya perempuan Turki atau Uzbekistan. Kain berjenis Pe atau Poly Ethilene atau Polyster, dipakai seperti pashmina dengan ujung menjulang di atas dahi, seperti julang ngapak Mesjid Agung Purwakarta. Keberagaman ini menunjukkan bahwa memakai kerudung itu memang punya seni tersendiri, dan sebagian orang memang menggeluti bidang seni ini. Alhamdulillah-nya, Masisirwati gak ada yang jilboob. Kalau pun ada, uwuwuwuwhhhhhh...... Robby pasti syuka.

Selain kerudung, cara memakai tas bisa jadi pembeda juga. Si M itu biasanya pakai tas dulu, baru kerudung. Jadi tasnya di dalam kerudung supaya lekuk bahunya tetap tertutupi. Sementara Si I pakai kerudung dulu, baru tas. Hal itu berlaku ketika dia menggunakan jaket, sweater, atau blazzer. Polanya selalu seperti itu. Tidak semua, tapi hasil pengamatan saya menunjukkan hal itu.

Kita bisa membedakan I dan M dari jenis sepatu yang dipakai. Maklum ghodul bashar, keseringan menundukkan pandangan jadi cuma bisa liatin sepatunya. Sebenarnya jenis sepatu perempuan itu banyak dan perempuan manapun mungkin saja menggunakannya. Tapi bisa dipastikan, hampir semua akhwat I suka pake sepatu jenis Crocs. Sedangkan si M itu jarang saya temui menggunakan Crocs, kecuali laki-lakinya. Ini jadi semacam identitas, seperti salah satu identitas cowok Masisir adalah pake sandal Eiger.

Ketertarikan saya pada akhwat Malaysia sebenarnya sudah lama. Dulu di awal-awal masuk kuliah, saya pernah beberapa kali bertanya pada Mang Husen, Mang Iwan, dan Mang Iqsas tentang pendapat mereka jika saya punya gebetan orang Malaysia atau Brunei atau Singapura. Ijtima mereka mengatakan, langkah pertama yang harus ditempuh adalah harus mumtaz di kuliah minimal tingkat satu, biar di tingkat dua dan seterusnya bisa masuk tahap dua, yaitu modus ngebimbel praujian.

Gara-gara motif busuk ini, saya gak mumtaz-mumtaz di kuliah. Niat menuntut ilmu itu memang harus murni dan gak dicampur dengan kebatilan. Tapi saya memang serius tertarik untuk mengamati orang-orang Malaysia yang ada di sini. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, sepatutnya kita belajar dan mengambil hikmah dari kawan-kawan Malaysia supaya tulisan ini agak sedikit berfaedah. Faedah. Pake F.

Suatu hari saya pernah masuk ke asrama mahasiswa Malaysia di Tub Ramly. Waktu itu ada acara nikahan orang Malaysia. Sedikit banyak saya jadi tahu bagaimana adat mereka ketika menikah, dekorasi ruangan, hidangan makanan, tata letak bangunan, bahkan sampai cara menyimpan sendal. Di lain kesempatan, saya punya teman laki-laki Malaysia yang tinggal di asrama Malaysia di Abbasiah. Saya diajak ke sana dan sedikit banyak tahu bagaimana kondisi kamarnya. Asrama Abbasiah itu mirip Asrama Bu'uts, tapi dalam versi yang lebih bersih dan rapi. Sementara Asrama Tub Ramly itu mirip Asrama Sandwich Program di Suez Canal University, yang katanya juga mirip Asrama JS di Asyir (?). Lalu akan bagaimana kondisi Asrama SBY yang notabene ditunggu-tunggu Masisir?

Kesimpulan sementara saya, orang Malaysia itu rapi dan suka kebersihan. Premis ini bukan generalisasi, tapi sementara ini itulah manifestasi besarnya. Ini tergambar ketika melihat Bu'uts dan Abbasiyah. Bangunanya mirip, kenapa rupanya bisa nampak berbeza? Pasal macem ni yang buat saye pelik. Padahal menurut saya, bentuk WC dan kamar mandinya sama loh! Koridor dan pintu kamarnya juga sama. Kesan ketika menginap di kamarnya Utay di Buus dan kesan ketika melancong ke kamar temen saya di Abbasiah itu beza sangat. Saya jadi khawatir, takut ada orang Malaysia yang bermain ke kamarnya Utay, lalu mengambil kesimpulan bahwa orang Indonesia gak serapi orang Malaysia. Ini kan bisa fatal. Mending kalau si M itu pengertian dan bukan pemicu konflik, kalo iya, ya rusaklah susu sebelangga.

Asrama putra dan putri di Abbasiyah itu memang satu kompleks. Satu gerbang, satu satpam, satu lapangan. Di salah satu dinding asramanya, ada tulisan "Baitii Jannatii", rumahku surgaku. Saya jadi kepikiran bikin itu juga di rumah. tapi bisi era sorangan. Ya kondisi rumah saya kan dinamis. Sepatu nonggeng, selimut nambru, runtah unggal juru, WC yang jarang disikat, cuma foto kamu aja yang selalu tegak rapi menghiasi kamar hatiku. Uwuwuw.

Persoalan rumah saya berantakan itu cuma satu: butuh istri! As you know, rumah saya isinya jomblo semua. Dua jomblo musta'mal (udah nikah tapi LDR-an), satu pria pacaran taaruf LDR-an (jenis ini apa bedanya dengan jomblo yang punya pacar fiksi?), dan saya, jomblo asbak (diriung cuma buat buang puntung. Disamperin cuma buat dengerin curhatan kisah teman dengan pasagannya). Kita butuh istri! The real istri! Tapi saya khawatir juga, gimana kalau nantinya saya dapet istri yang gak bisa rapi dan males beres-beres? Atuh saruana? Pernah gak sih kamu berkunjung ke rumah sebuah keluarga yang isi rumahnya berantakan? Pas kamu bertamu, didapati panci rendeman bekas nasi, sendok belum dicuci, baju ngegantung di sembarang tempat, handuk tergeletak di sembarang tempat, dsb. Berarti bukan jaminan pula jika kita sudah beristri dan berumah tangga, hidup kita jadi lebih tertib. Kata Syeikh saya mah, tujuan nikah itu supaya hidup tenang, bukan supaya hidup jadi lebih tertib, atau belajar jadi lebih fokus, atau supaya kuliah cepet lulus. Makanya, para pria yang belum menikah harus rapi dan menjaga kebersihan karena gak ada jaminan kamu bakal dapat pasangan yang bisa rapi dan suka kebersihan! Itu! (wakakakak)

Mungkin itu alasan pengen deketin cewek Malaysia, penampilannya aja rapi apalagi dalemnya? Wuihh... istri-able and peluk-able.

Di pintu keluar asrama Malaysia, ada stiker yang menepel di pintu kaca, mengingatkan para akhwatnya supaya kerudungnya sesuai standar. Stikernya itu macam petunjuk pencoblosan ketika pemilu. Ini yang salah, ini yang benar. Kerudung seperti ini salah, kerudung seperti ini benar. Yang memperlihatkan bahu ada X merahnya. Sedangkan yang menutup bahu ada ceklis hijaunya. Yang hanya menutupi leher ada X merahnya. Sedangkan yang menutupi dada ada ceklis hijaunya. Celana ketat ada X merahnya, celana longgar ada ceklis hijaunya. Saya agak tersenyum aja waktu itu, melihat betapa pasal penampilan saja dijadikan aturan yang diseragamkan. Tentunya ini ada nilai positifnya, karena saya percaya bahwa tujuan pemerintah mereka dengan adanya stiker itu juga untuk sesuatu yang baik.

Kawan saya, salah satu mojang Bandung, orangnya cantik meneduhkan. Tidak ada parfum menggoda, tidak ada bentuk alis khusus, tidak pula gincu merah di sehampar bibirnya. Dia cantik meski tanpa bedak, tetap menawan meski tanpa aksesoris kalung berkepala burung hantu atau bros sebesar tangan bayi. Katanya, lebih sering tanpa pulasan membuatnya lebih nyaman, meskipun terkadang merasa lebih lengkap dan siap menghadapi dunia ketika memakai riasan. Mungkin seperti beberapa kata feminis, hal ihwal penampilan bagi perempuan menjadi belenggu dengan sendirinya. Faktor sosial, politik, ekonomi, atau iklan produk-produk kecantikan di teve telah banyak mendorong banyak perempuan untuk menyesuaikan standar kecantikannya di luar kesadarannya.

Mojang ini barangkali merupakan gambaran satu dari sekian banyak masisirwati yang sebenarnya lebih nyaman tanpa riasan tapi lebih percaya diri dengan pulasan. Beberapa malam yang lalu, kami melaksanakan Pesta Bujang dalam rangka persiapan pernikahan Utay. Di pesta bujang itu, kita sepakat bahwa pada hakikatnya perempuan yang semakin berias, cantiknya semakin menyepi. Konsep 'cantik hanya untuk suami' menjadi semakin bias dan entah di mana jika sejak perawan seorang perempuan sudah membagikan pesona cantiknya kepada banyak supir angkot, ammu-ammu bekya, atau kakak-kakak tingkat yang suka ngemodus via whatsapp.

"Oh belum tahu sungai nil ya? Yuk nanti sore Aa temenin!"
"Temen-temennya suruh pulang duluan aja, nanti kamu pulangnya Aa anterin. Ke Darosah kan?"
"Beli jaket? Di Genena aja biar sekalian Ice Skating-an. Takut? Kan ntar ditemenin"
"Besok ada acara di kekeluargaan. Gak tau tempatnya? Ya udah nanti kakak jemput!"

What the funny shot these moduss! Buat kalian perempuan yang percaya bahwa dirinya cantik dan suka dimodusin cowok-cowok kesepian, plis ini mah abaikan! Satu cowok boleh kamu ladenin, tapi ke banyak cowok? Haduhh rifuuhh. Bersikaplah seperti Mak Cik tetangga saya itu. Tiap saya jawab salamnya, dia cuma ngaleos. Ngaleos bukan karena dia benci, bukan karena gak suka, bukan karena jijik, tapi karena dia tahu mana yang seharusnya dan mana yang tidak seharusnya. Semakin cowok diabaikan dalam hal-hal modus receh, semakin cowok tahu bahwa perempuan itu mahal dan layak untuk diperjuangkan.

Kembali ke Mak Cik. Saya tidak punya ekepektasi menjadikan semua penampilan semua perempuan terlihat seperti mak cik. Life always yummy because its colors. Tapi sebagaimana seharusnya perempuan yang berlabel muslimah dan azhariyah, kurangi bau parfumnya, pertipis alisnya, high hell-nya (bener gak nulisnya?) dipake pas acara wisuda aja, dan yang penting pakaiannya jangan ketak-ketat ya, bawaannya pengen.... ngajepat!

Jadi, sampai pada masa awak siap nak abang jemput, abang dayman fi intidhoorik ya habebtyy.....
......
Wa Allahu a'lamu bi ash-shawab.

17 Oktober 2016
_____________________________________________________

Minggu lalu, seorang Malaysia order Cutterme. Ia kirim beberapa foto untuk dibuat sketsa. Dari semua foto itu, tak ada yang tersenyum manis, menurut si pemesan. Katanya, Ustadz tolong buatkan sketsanya yang buat die macam nampak manis dan bahagia yaa....

Jadi pekerjaan saya saat ini bertambah: Membuat orang terlihat manis dan bahagia.

 

Komentar