Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Interupsi untuk Fatin Aliya dalam Dialog bersama Tri Rismaharini


Assalamualaikum Dek Fatin, semoga ketika surat ini dibaca, kamu dalam keadaan sehat afiat. Amin.

Pertama sebelum membahas interupsi, saya ingin mengoreksi sedikit kesalahan pembawa acara dalam memandu acara Dialog Kebangsaan bersama Walikota Surabaya Tri Rismaharini kemarin (18/03). Dalam acara kemarin, kurang lebih sebanyak empat kali MC bilang "Kepada para hadirin," dan "Kepada seluruh hadirin," tatkala memberitahukan waktu salat magrib dan instruksi untuk kembali ke ruangan karena acara akan segera dimulai. Lema 'hadirin' dalam bahasa kita bagaimanapun punya makna majemuk, jamak. Jadi tak perlu lah menggunakan lagi kata 'para' dan 'seluruh'. Kedua, dalam setiap sambutan kenapa harus waktu dan tempat yang dipersilakan? Kenapa bukan orangnya?

Dalam retorika semacam itu, terkadang kita terlalu biasa dengan hal-hal kurang tepat namun sudah mengakar. Sepele sih, bahkan bukan juga bagian dari hukum syariah yang harus-harus banget ditaati.  Tapi bagi saya, itu geli. Semacam gatal yang tidak apa-apa dibiarkan, tapi bawaannya ingin ngegaruk. Sama halnya dengan terbiasanya kita menyalahgunakan kata 'acuh', menulis 'dipukul' dan 'di pukul', 'sekedar' dan 'sekadar', atau 'doa' dan 'do'a'.

Ketiga, saya tahu nama kamu sejak setahun lalu. Waktu itu kamu jadi moderator di acaranya Fatin Hamama, lalu kamu menyamakan diri seolah sesama nama Fatin akan ada bakat dan naluri sastrawi yang sama. Sejak saat itu saya tahu bahwa kaca matamu agak mirip dengan kaca mata pacar saya, dulu. Huh. Jadi dengan referensi online, saya sudah stalking-in kamu, sudah googling, dan saya sudah cukup maksum jika hanya untuk menghafal nama kamu.

Dek Fatin, saya berkhayal punya kemampuan memberhentikan waktu seperti Kim Soo Hyun sebagai Do Min Joon dalam serial My Love From Another Star. Seketika waktu berhenti, sementara ia sendiri bisa bebas bergerak, memindahkan benda-benda, mengubah banyak hal dalam dimensi yang sama. Waktu kamu berdiri memegang pelantang suara untuk bertanya pada Bu Risma, ingin sekali saya hentikan waktu. Saat itu, saya akan berdiri dari tempat duduk, menghampiri kamu dan menyingkirkan tukang foto yang menghalangi jarak pandang saya. Saya akan mencopot kain batik di pinggiran banner yang mengganggu dekorasi, saya akan selfie dulu sama Bu Risma, dan saya akan berbisik dan memasukkan banyak hal ke kepala kamu. Kira-kira hal ini yang akan saya katakan.

Dek Fatin, kamu jangan tanya ke Bu Risma soal apa peluang buat kita ketika pulang nanti ke tanah air. Pertanyaan jenis ini setidaknya sudah tiga kali saya dengar dalam forum-forum seperti ini di Masisir. Pertama, ketika acara ngobrol-ngobrol bersama para rektor universitas-universitas di Indonesia. Nama acaranya saya lupa, yang pasti tempatnya di Salah Kamil juga. Kedua, ketika acara sosialisasi pemilu legislatif oleh beberapa partai politik di Rumah Limas. Waktu itu ada yang bertanya soal kandidat manakah yang sekiranya bakal punya program khusus untuk memberdayakan Masisir sepulangnya nanti di tanah air. Ketiga, adalah kamu. Meskipun kamu menjadi yang ketiga, tapi tak menutup kemungkinan jadi yang pertama kok. *apasih..

Saya gak bisa menyalahkan pertanyaan itu, atau pertanyaan-pertanyaan sejenisnya, pada orang-orang yang bertanya. Semua dari kita sangat sadar bahwa masa depan adalah hal yang begitu misterius dan sulit diprediksi, meskipun tak semisterius jawaban "terserah" dari mulut cewek ketika ngambek. Masa depan yang belum pasti serta diiringi banyaknya umat yang memenuhi dunia ini membuat kita banyak menuntut dan mencari jaminan. Karenanya tak heran jika hal itu dijadikan para pelaku bisnis pendidikan sebagai jaminan kualitas dan lapangan kerja. Buktinya, sebelum saya berangkat ke Mesir, saya sempat ngelamar ke Universitas Esa Unggul, diterima di jurusan Broadcasting, dan ambil matrikulasi hanya karena tergoda dengan iming-iming "lulusannya pasti kerja di stasiun teve nasional dengan gaji lebih menggiurkan dibanding honor karyawan Atdik." Semua orang butuh duit, butuh lapangan kerja, butuh suatu hal untuk memenuhi kehidupan materinya. Jadi sangat wajar jika sebagian dari kita, bahkan saya juga, suka bertanya pada orang-orang besar di negeri kita, atau orang-orang penting yang datang ke Mesir dan melakukan dialog atau acara silaturahmi dengan mahasiswa, apa ada jaminan pekerjaan untuk kita ketika pulang nanti? Kita mahasiswa di luar negeri loh! Kampus kita bergengsi! Lulusan Mesir masa gak diistimewakan?

Jawaban Bu Risma saat itu mendapat banyak tepuk tangan. Tepuk tangan kita semua antara dua hal: karena memang sejak awal sudah meyakini jawaban itu dalam benak masing-masing, atau baru tersadarkan dan turut tepuk tangan hanya karena ingin melihat kamu berdiri dengan pipi yang memerah. Dengan risiko apa pun, kamu selangkah lebih maju dari yang lain. Berani untuk lebih berani, dan berani-beraninya mengganggu pikiran saya sampai-sampai harus nulis kaya gini.

Pertanyaan minta peluang adalah penyakit, katanya. Artinya kita masih bermental konsumen, mental followers, bahkan mungkin status quo. Kitalah yang seharusnya menciptakan peluang-peluang itu, karena dengan eksistensi kita sebagai mahasiswa Indonesia di luar negeri, justru mengantarkan kita pada posisi yang tidak selayaknya bermental followers. Kalo jadi followernya ajaran Rasul sih positif, bahkan harus. Tapi kalo jadinya pengikut ide orang lain tanpa pernah berani mengeksekusi ide sendiri, itu namanya fatal. Maka wajar di awal pembicaraannya Risma mengatakan, jika 3500 mahasiswa ini punya pengaruh, lalu semuanya pulang ke Indonesia dan memaksimalkan pengaruh positif itu dengan baik, maka Indonesia akan jadi bangsa yang hebat. Dengan satu Risma saja, Surabaya berubah. Dengan satu Ridwan Kamil saja, Bandung berubah. Dengan satu Jokowi saja, Solo berubah. Nanti, tatkala Risma meninggal dan Surabaya butuh pemimpin, tak menutup kemungkinan Dek Fatin ini yang akan menempati posisinya. Tenang, nanti kita temani. Saya di Purwakarta, Ocid di Bekasi, Yuda di Garut, dan Marini di Depok. Ada benarnya kata Bu Risma, bahwa yang dikhawatirkannya itu bukan soal peluang kerja untuk anak-anak bangsa yang ada di luar negeri, tapi untuk teman-teman kita yang berkebutuhan khusus, karena tidak semua pencipta peluang menyediakan peluang pekerjaan untuk mereka. Apa iya kita gak malu kalo harus mengambil rizkinya teman-teman kita?

Kita semua tahu fenomena Go-Jek yang belakangan ramai dibicarakan di Indonesia. Sebenernya mah cuma jadi tukang ojek, tapi kok bisa jadi keren banget. Bahkan ratusan lulusan S-1 pada antri ngelamar kerja jadi tukang ojek. Mengapa harus ada fenomena seperti ini? Karena tidak semua orang berpikir tentang menciptakan peluang, tapi sibuk mencari peluang. Maka bagi kita yang telah Allah lebihkan rezekinya, kemampuannya, kenikmatannya, pengalamannya, tidakkah tertarik untuk membuat pengaruh tersendiri untuk perubahan itu sendiri?

Dalam acara ngobrol-ngobrol sama para rektor itu, saya ingat ada seseorang bertanya. Kira-kira begini, mengapa kita alumni Azhar ini gak bisa jadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah umum di Indonesia? Mengapa harus ada Akta-4 segala? Aduh, saat itu saya pengen banget malu. Bertanya dengan pertanyaan yang sebenernya bisa kita googling sendiri, kenapa harus ditanyakan di depan para rektor kampus-kampus terbaik di Indonesia. Pada dasarnya, seseorang yang belajar di jurusan pendidikan, ia sedang di-setting untuk menjadi tenaga pendidik, jadi guru. Seseorang yang kuliah kedokteran, ia sedang di-setting untuk menjadi seorang dokter. Begitupun dengan mereka yang belajar ilmu tentang pilot, kebidanan, bahasa, seni, ushuluddin, syariah, tentara, semuanya dipersiapkan untuk profesi tertentu. Soal polisi yang jadi Stand Up Comedian, itu urusan lain. Allah lebih tahu. Nah beginilah kita saat ini. Harus tahu tentang apa yang sedang dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Meskipun kamu lulusan Al-Azhar atau Harvard atau Cambridge, kalo settingan yang diambilnya jurusan Ilmu Sejarah, ya susah lah untuk jadi guru, karena dokumen yang dibutuhkan adalah alumni Pendidikan Sejarah. Semua sudah diprosedurkan dengan rapi.

Pada akhirnya, saya bingung harus mengakhiri tulisan ini dengan sikap yang bagaimana. Dalam buku Little Book of Confidence terbitan AUC Press dikatakan, untuk menilai kualitas seseorang itu cukuplah lihat dari pertanyaan yang diutarakannya. Banyak hal yang belum tahu soal dunia ini. Maaf, dunia terlalu luas. Mungkin soal Indonesia. Ada banyak hal yang seharusnya kita kejar agar tidak ketinggalan, sehingga tatkala suatu hari kita yang Mesir ngopi bareng sama teman-teman yang di Indonesia, bisa  ngobrol dengan topik yang sama, saling melengkapi, yang pada akhirnya akan saling mencerahkan.

20 Maret 2016

Komentar