Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Membongkar Misteri Emil Nasrullah


"Di Kairo, dua hal yang saya takuti selain Allah adalah: menyeberang jalan dan Emil Nasrullah"

Entah sampai kapan saya akan mendapat laporan yang "aneh" dari orang-orang soal Emil Nasrullah. "Tuh, Si Emil kalakuanna!" atau "Si eta diparab naon baheulana keur di pasantren?", setidaknya itu dua pertanyaan terakhir yang saya dapatkan belakangan ini. Kenapa harus tanya saya? Saya gak ada hubungan apa-apa sama Emil!

Karenanya saya merasa perlu untuk menuliskan kegelisahan ini agar orang-orang 'korban kalakuan si Emil' tidak usah bertanya-tanya lagi ke saya. Karena saya masih punya banyak pertanyaan dalam hidup yang belum terjawab. Salah satunya pertanyaan teman saya: apa hukumnya pacaran mut'ah?

Emil Nasrullah adalah satu dari dua orang alumni Muhajirin yang suka selfie-selfie ganteng di Mesir. Dulu ada A Luthfi, tapi udah pulang. Ya sudah, tinggal kita berdua karena berdua lebih baik. Karena hanya tinggal berdua, seyogyanya kami jadi saudara yang baik, yang akur, yang saling menguatkan dalam hal iman dan keislaman. Tapi idealisme itu nampaknya mustahil terjalin sejak Emil suka nyebar voice note halabah halabah halabah di hampir semua grup whatsapp. Apa faedahnya halabah halabah itu, Mil? Apa itu yang diajarkan A Khanova yang ngasih kamu Sanad Mumtaz Ma'a Syarof 'Ula?

Supaya lebih runut, mari kita mulai dari awal. Hal ini bertujuan agar aibnya terbongkar secara lebih sistematis dan dapat dicerna dengan baik oleh jamaah.

Saya kenal Emil sejak 10 tahun yang lalu. Waktu di pondok, kamar kita beda lantai. Saya di lantai atas, dia di bawah. Bisa tahu nama Emil, karena dia suka jemur kasur di depan asrama. Nah di kasurnya itu ada nama "EMIL NASRULLAH - SUBANG" gede banget. Kalau gak salah sih begitu. Maklum santri baru, alaynya santri kaya gitu. Alay lainnya adalah gantungin kunci lemari pake tali yang buat hape di leher. Jadinya kaya co-card panitia acara. Satu lagi, Emil adalah satu-satunya santri baru pada waktu itu yang kalau lagi senam hari Minggu pagi, paling gak diem. Tahu kan gimana ekspresi lu ketika gak pake alas kaki terus nginjek lantai yang panas? Nah kaya gitu tuh. Kaya pensil goyang. Bukan perkara sulit untuk mengenal nama Emil. Beranjak kelas 2 SMP sampai kelas 3 SMA, dia mulai keliatan makin ngaco. Dulu sempet terkenal disebut-sebut sebagai Tria Changcuters versi sengklek. Celana gobernya dia iket pake lakban warna coklat biar jadi celana pensil. Tampil di panggung, jadi MC. Pernah juga pas demo ekskur, dia pake baju pramuka, sepatu paskibra, helm taekwondo, lalu baca puisi. Urat malunya di mana? gak ada. Udah hilang sejak lahir. Mungkin bidan yang bantuin dia lahir itu salah motong. Harusnya motong tali pusar, tapi malah urat kemaluannya. Maksudnya urat rasa malunya. Ya jadinya gini.

Sejak kelas dua SMP, saya sekamar dengan Emil. Bahkan sampai kelas 3 SMA, bisa dibilang kita selalu sekamar. Entah apa alasan Tuhan selalu bikin kita sekamar. Padahal hubungan kita gak harmonis-harmonis amat. Apalagi kalau dia lagi males ngambil jatah makan ke Dapur Umum, suka nitip kupon men! Tidak meringankan beban saudara, justru menambah beban saudara ini mah. Selepas lulus SMA, kita sempet LDR-an. Dia ke Mesir duluan, saya di Bandung. Dan selama dia di Mesir, dia gak pernah update status atau upload foto atau aktivitas apapun di internet. Begitupun dengan Ika dan Syifa yang juga satu almamater dengan saya. Kesamaan karakter inilah yang membuat saya berlabuh di satu konklusi bahwa kehidupan di Mesir amat sangat terisolasi, internet susah, atau benar-benar tidak ada waktu untuk melakukan hal-hal bid'ah semacam itu selain ngaji, dzikir, dan kuliah.

Lalu datanglah takdir untuk menjadi ahli Mesir. Saya tiba di Mesir subuh-subuh pas musim dingin. Ekspektasinya, keluar gate airport itu langsung ada Emil yang jemput, bawain air minum karena antri imigrasi bikin haus, dan ya semacam say hello lah dari temen yang udah sekamar selama empat tahun. Tapi ekspektasi itu busuk. Aku terlantar di bandara! Gak ada sodara, gak temen, gak ada satupun yang saya kenal! Itu rasanya udah kaya masuk pintu ke mana saja milik Doraemon dari Cigondewah, terus keluar tiba-tiba di tempat yang gak tau di mana. Waktu itu yang ada di pikiran saya adalah, menghitung jumlah uang di ATM dan di saku. Siap-siap jika memang saya harus terlantar, saya akan backpackeran dulu di Mesir selama beberapa saat, lalu beli tiket pesawat buat balik lagi ke Cikeris. Sambil ngitung duit, ya tentunya sambil mengutuk-ngutuk Emil Nasrullah yang gak ngejemput. Jadinya kan saya harus nebeng ke bisnya anak-anak Mumtaza. Lebih tepatnya jadi penumpang ilegal. Mendadak kenalan, mendadak sok kenal seolah-olah saya bagian dari mereka, dan sok-sok an aja yang penting gak terlantar di bandara. Urusan nanti gimana, waktu itu belum terpikir. Makanya saya jadi diaku-aku anak Mumtaza cuma gara-gara nebeng bis dari bandara. Ini efeknya berkepanjangan. Salah satunya jadi suka diminta bikinin pamflet. Dan ini adalah salahnya Emil Nasrullah.

Ada satu rahasia yang perlu diketahui kenapa sejak kedatangan saya, tidak ada lagi alumni Al-Muhajirin yang datang lagi ke Mesir. Jangankan datang, lulus tes Kemenag aja enggak. Rahasianya adalah karena Emil berdoa supaya anak-anak Muhajirin gak ada yang lulus tes, kecuali setelah tak ada satupun dari santri-santri itu yang kenal Emil. Loh, kok bisa? Karena kalau mereka yang tahun 2014 atau 2015 itu datang ke Mesir, mereka itu A'dho kita men! Mereka sempat mengenal Emil sebagai Murabbi kamarnya, dan mereka pasti tau aib-aibnya Emil. Emil gak siap jika Muhajirin Mesir nambah anggota, karena semakin nambah anggota, akan semakin banyak aibnya yang terbongkar. Mungkin yang angkatan 2016 ini bolehlah kalau mau ke Mesir, karena statusnya itu sudah bukan lagi A'dho, tapi Tabiin bahkan Tabiin atba' tabiin.

Perlu diketahui juga, kehadiran saya di Mesir adalah kehadiran yang tidak Emil harapkan. Bayangkan, gimana rasanya jadi saya yang berdoa sekian lama supaya bisa selfie di Mesir, tapi pas udah tinggal di sini, nyatanya gak diharapkan teman sendiri? Di mata Emil, saya adalah ancaman bagi hidupnya. Bahkan mungkin juga di mata Ika dan Syifa. Mereka bertiga yang selama dua tahun puasa update status, puasa sosmed, semata-mata memang pencitraan doang supaya dikira asatidz pondok bahwa mereka bener-bener belajar serius. Okelah kalau Ika dan Syifa mah. Mereka mah emang rajin beneran. Sanadnya banyak, talaqinya juga jelas. Tapi Emil, saya agak gak terima. Sekalinya talaqi, dia talaqi ke Habib Asep. Kerjaannya apa? Nontonin anjing lagi reproduksi di depan Khoiru Zaman! What the coy....

Sejak minggu-minggu pertama di Mesir, pastinya dong saya banyak kenalan sama orang. Minimal nyebut nama dan asal. Beberapa nanya almamater. Muhajirin dan Purwakarta adalah nama tempat yang kondisinya itu kaya Indonesia: bukan negeri yang populer, bukan negeri yang kaya, bukan negeri yang maju, jadi perlu Ithnab alias keterangan tambahan untuk memperjelasnya. Gak semua orang tahu di mana Purwakarta, gak semua orang tahu Muhajirin. Sekalinya ada yang tahu Purwakarta, dikiranya itu masuk Jawa Tengah. Padahal beda huruf vokal. Kalau ada yang nanya, Muhajirin itu di mana ya? Saya jawabnya gampang, "Saya sealmamater sama Emil!". Dan jawaban ini cukup ampuh berkat ketenaran Emil Nasrullah. Tapi pertanyaannya suka berlanjut, "Oh Emiilll. Dulu dia gimana waktu di pondok?".

Sejak saat itu saya mulai bertanya-tanya, kok bisa Emil terkenal di dunia nyata sementara ia 'mati' di dunia maya? Ya meskipun terkenalnya dengan cara yang tidak wajar. Perlahan mulai saya temukan jawabannya bahwa hape dia gak cerdas-cerdas. Dikiranya masih ada Kepala Asrama kali, hape bagus kalau ketahuan bakalan dirazia, jadi bertahan dengan hape cinitnit. Kedua, hapenya mulai cerdas tapi selalu tinggal di rumah yang gak ada wi-finya. Tapi selidik punya selidik, yang tinggal di rumah tanpa internet itu banyak tapi mereka tetap update. Lalu apa yang salah dengan Emil? Ketiga, sebenarnya Emil sering update, tapi pake jalur pribadi. Japrian sama mantannya yang di UIN, yang satu tahun ke belakang putus dengan alasan "punten, Mil, aku mau fokus kuliah, fokus belajar". Alasan yang menjijikan bukan? hahaha....

Soal asmara, sebenarnya Emil ini gak payah-payah amat. Pernah suatu hari, dia mau adu jotos dengan pacar mantannya di bawah pohon rambutan. Entah apa motifnya, tapi hal ini membuktikan bahwa ia adalah tipe cowok yang setia. Iya, setia sama gagal move on emang beda-beda tipis. Tapi ributnya gak jadi, lantaran adzan asar memisahkan mereka. Pernah ditikung sekali, pernah friend zone, adik kakak zone, dan pernah putus gara-gara LDR, Emil sudah cukup paham bagaimana asam garamnya kehidupan ini. Bahkan, dia juga pernah ngecengin seorang janda, pernah juga ngecengin pembantu rumah tangganya kepala asrama demi dapat makanan gratisan. Kita tahu lah kalau makanan di rumah kyai itu selalu ada dan enak-enak. Santri macam apa yang tidak selalu lapar? Hal yang unik dari urusan asmaranya Emil adalah, saat ini dia sedang menjalin 'silaturahmi' dengan akhwat Yogyakarta yang juga namanya Emil. Mil, kenapa milih cewek yang namanya Emil juga? Jawabannya, biar yang ngetik undangan nanti gak usah cape ngetik, tinggal copy paste. Ternyata Emil orangnya pengertian sama tukang desain undangan. Mungkin ini jawaban kenapa Allah takdirkan saya masih berteman dengan Emil.

Sebagai teman, saya cuma bisa mendoakan semoga Emil dalam urusan asmaranya berjalan baik. Jika melihat perjuangannya, saya harap semoga tahun depan ia bisa segera menyempurnakan setengah agamanya. Apalagi dengan fakta bahwa adiknya sudah menikah duluan, pasti bukan hal yang mudah baginya jika ia harus gagal lagi dalam urusan asmara. Cuma pinta saya, tolong perjelas ke hati mana kamu akan jatuh? Sekali waktu kepergok makan bakso berduaan di Mutsallas. Terus tengah malem ngemodus nganterin cewek yang lain pulang ke rumahnya. Dan beberapa minggu lalu, ada foto cewek lain lagi di hapenya yang belakangan terdengar kabar, mereka berdua abis makan bareng di salah satu warung makan Indonesia. Sementara sampai saat ini masih suka chattingan sama Emil wong Jogja. Sampean iki hoyongna naon sih?

Sebenarnya aib Emil ini masih banyak. Kalau dibahas dengan kaca mata ekonomi, politik, sosial dan HAM, waktunya gak akan cukup. Di dunia kriminal juga pernah terjerat. Harusnya semua orang tahu kenapa nama akun twitter dan instagram dia Emilehoan, itu karena dia punya cerita kriminal di balik nama itu. Waktu itu dia ribut dengan satpam pondok. Hubungan keduanya tidak harmonis. Antara Emil dan Pak Suroso adalah dua medan magnet yang sulit bertemu. Pak Suroso lagi emosi, dia lempar tongkat satpamnya dengan kekuatan melempar masa lalu. Plewerrr... dan mendarat di bibir seksi Emil. Bibir atasnya mengeluarkan darah, dan tragedi itu meninggalkan jejak di bagian wajah antara bibir dan lubang hidungnya. Jejaknya itu kalau diperhatikan secara lebih dekat, mirip leho (ingus) yang mengambai. Maka jadilah Emil Leho. Biar jadi sensasi, dia pake aibnya sendiri sebagai nama paten di twitter dan ig-nya.

Sudah lah ya, mengapa kita harus membahas aibnya Emil Nasrullah. Buang-buang waktu dan gak ada gunanya. Sebagai epilog, saya punya kekhawatiran bahwa suatu saat Emil ini akan semakin ngaco dan 'gagal' mencerminkan identitas Muhajirin di mata Internasional. Inilah yang dimaksud kenapa saya takut dengan Emil. Diam-diam, saya suka mengkhawatirkan masa depannya. Perhatikan dengan seksama, sekali dia nyebar virus halabah-halabah di grup whatsapp, maka nama almamater yang jadi taruhannya! Ingat Mil wajah guru-guru kita di pondok! Ingatlah mereka yang suka nulis di brosur pondok "lulusannya ada di Timur Tengah"! Ingat Mil, mereka belum ngasih kita beasiswa! Mari kita coreng saja! Hahaha

Sudah lah ya, semoga hidup Emil berkah varokah. Selamat ujian, semoga ujiannya lancar. Dan satu lagi yang paling penting dari semua hal: jangan ngirim lagi emot whatsapp yang ada lope di bibirnya! Jijik!

26 Februari 2016

Komentar