Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Kreativitas dan Kesalehan Sosial Dalam Kepengurusan Mang Iwan


"To live a creative life we must lose our fear of being wrong"
- Joseph Chilton Pearce -
Tidak ada manusia yang dilahirkan tanpa kreativitas. Hanya lingkungan dan dukungan yang menyebabkan kreativitas seseorang mengalami pasang surut. Kiranya hal itu yang menjadi kesimpulan sementara saya setelah satu tahun sudah bekerja sama dengan Iwan Jaenal Aripin, Lc. Sebuah proses yang menetaskan banyak kisah, lahir maupun batin. Menjadi sekretaris yang menemaninya selama menjabat sebagai Gubernur KPMJB, merupakan bagian terpenting bagi saya secara pribadi. Ada banyak simpul-simpul kreativitas yang diwadahi sehingga bersamanya membuat saya memiliki banyak sudut pandang tentang manajemen kreativitas, olah ide dan gagasan, dan tentunya tentang bagaimana menerjemahkan sebuah karya menjadi antusiasme sosial.

Tidak banyak yang saya tahu tentang KPMJB sebelum periode Mang Iwan. Lebih baguskah, lebih unggulkah, semuanya berseliweran hanya dalam komunikasi lintas mulut dan dokumentasi media sosial. Tapi saya menemukan sebuah asumsi bahwa Mang Iwan merupakan salah satu sosok yang membawa banyak gebrakan dalam roda kepengurusan KPMJB. Setidaknya dalam hal kreativitas yang terolah dan terimplementasikan dalam setiap kegiatan. Hal inilah yang saya temukan dari opini publik tentang periode Mang Iwan dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Sebagai bagian dari proses, mungkin inilah yang membuat saya, bahkan orang lain, merasa diakui selama kepengurusannya. Sehingga tidak berlebihan jika saya membuat sedikit testimoni. Bukan semata tentang Mang Iwan dan gaya kepemimpinannya, tapi juga tentang bagaimana saya menyikapi serangkaian persentuhan ini.

Menjadi sekretaris di lingkugan KPMJB merupakan hal unik yang takkan saya sesali seumur hidup. Ada kebahagiaan, kepercayaan, dan konfidensi moral yang terukur dari bagaimana saya melihat sesuatu seharusnya terjadi. Interaksi perkenalan yang berjalan beriringan dengan interaksi proses kreatif, membuat saya mengenal Mang Iwan tidak hanya dari sisi sekretaris yang berada di samping kanan ketuanya, tapi juga multisisi komprehensif yang pada akhirnya mengantarkan saya pada sebuah kesimpulan bahwa tupoksi seorang sekretaris bukan hanya soal administrasi, surat menyurat, atau kerapihan ruang kantor. Sekretaris adalah tangan kanan sekaligus promotor organisasi, sehingga kemauan dan kemampuan saja tidak cukup menjadi syarat yang harus dimiliki, tapi juga konsentrasi batin yang dimiliki antara ia dengan lingkungan kerjanya sangat dibutuhkan dalam rangka manajemen pola kerja. Karena bagi saya, pola kerja dalam proses kreatif sangatlah bergantung pada respon lingkungan di mana proses itu terjadi. Dalam hal ini, Mang Iwan telah melakukan banyak dukungan, bimbingan, dan dorongan agar saya, sebagai bagian dari nahkoda kepemimpinannya, tetap mampu humble dan kapabel di seluruh rangkaian program kerjanya.

Mang Iwan adalah orang seni. Bakat seninya tertuangkan dalam kanvas-kanvas yang pada akhirnya menjadi sebuah identitas. Kemampuannya dalam mengolah rasa lewat diksi warna, objek gambar, dan lekuk kaligrafi menjadikannya sebagai pribadi yang menganggap KPMJB bukan hanya sebagai ruang organisasi formal, tapi juga laboratorium kesenian. Seolah tak khawatir akan kehabisan ide, setiap acara/program yang dilaksanakan di KPMJB diberi setuhan seni dan rasa seoptimal mungkin, sehingga siapapun yang turut berpartisipasi dalam setiap kegiatan KPMJB selama setahun ke belakang pastinya merasakan bagaimana rasa seni seorang Iwan Jaenal Aripin hadir dalam kegiatan tersebut. Dan menurut saya, hal inilah yang tidak banyak dilakukan oleh banyak ketua dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan Indonesia di Mesir. Karena nyatanya tidak semua orang yang menjadi ketua organisasi memiliki kemapanan 'merasa dan berpikir' sebagaimana yang dilakukan orang seni ketika memimpin sebuah lembaga formal. 

Berdasarkan hal itu, saya menemukan satu hal penting dalam gaya kepemimpinan Mang Iwan bahwa pekerjaan yang dibarengi dengan passion dan enthusiasm itu selalu berakhir dengan bagian akhir yang menyenangkan, setidaknya memuaskan perasaan pelakunya. Passion dan enthusiasm hadir berbanding lurus dengan motif yang dimiliki. Terlepas dari motif apa yang dimiliki Mang Iwan sehigga begitu bersemangat memimpin KPMJB selama satu tahun ke belakang, yang pasti saya, secara pribadi, menemukan banyak hal positif yang bisa dinikmati di banyak waktu. Minimal kenikmatan memiliki beberapa sudut pandang yang berbeda tentang kepemimpinan, kreativitas dan pola kerja.

Kilas balik satu tahun yang lalu saat Mang Iwan masih mengampanyekan diri sebagai calon gubernur KPMJB, ia menggembor-gemborkan sebuah visi yang menurut saya, visinya unik. Warga yang dipimpinnya harus menjadi pribadi yang saleh secara sosial. Kesalehan sosial yang dimaksudnya adalah mewujudkan sebuah generasi yang, mungkin, berkeharusan untuk menebarkan manfaat sebisa mungkin. Maka pantas saja, dari 181 rangkaian kegiatan yang tercatat di kaleidoskop kepengurusannya, ada 15 program yang terlaksana secara tekstual sesuai dengan program kerja, sisanya adalah acara silaturahmi ke sesepuh, silaturahmi ke warga yang terkena musibah, menjadi event organizer bagi acara warga (semisal menjadi EO acara pernikahan dan akikahan), menghadiri undangan kegiatan, dan ikut serta di acara-acara kerja sama dan solidaritas. Seringya intensitas silaturahmi ke sesepuh/senior KPMJB membuat para sesepuh merasa dilibatkan dalam ruh kepengurusan KPMJB. Hal inilah nilai tambah yang, katanya, tidak banyak dilakukan oleh ketua-ketua sebelumnya. Tentunya ada pelajaran berharga bagi saya pribadi bahwa interaksi dan komunikasi yang berkelanjutan adalah kunci dari kesalehan sosial yang dimaksudnya.

Ketika kesalehan sosial ini dikaitkan dengan nilai seni dan nilai kreativitas yang ada dalam raga kepengurusan KPMJB periode 2014-2015, saya menarik sebuah kesimpulan bahwa kepengurusan Mang Iwan dengan keterlibatan saya di dalamnya telah mengantarkan siapapun yang mengenal Mang Iwan dan kepengurusannya agar tidak merasa mubadzir ketika berbagi pengalaman berproses, agar tidak merasa kehilangan ketika kemampuan diri diaktualisasikan dan dielaborasikan untuk kepentingan banyak orang, dan agar tidak merasa rugi ketika memiliki sebuah ide cemerlang dituangkan secara maksimal dalam satu momen yang bagi sebagian orang dianggap biasa saja. Sehingga dengan ekspektasi seperti ini muncul pertanyaan, seberapa besarkan perbandingan antara kemampuan yang dimiliki dengan manfaat yang telah diberikan untuk orang banyak? 

Menjadi pemimpin yang melakukan inovasi dan gebrakan dalam kepengurusan sebuah organisasi bukanlah perkara mudah. Mengubah tatanan birokrasi yang dikelilingi oleh orang-orang yang masih (ada) berpikir kolot memang butuh usaha dan keberanian yang cukup mumpuni. Memang begitulah dinamika berorganisasi. Ada orang yang menghendaki perubahan, ada orang yang selalu bangga dengan masa lalu tanpa melakukan aksi untuk hari ini, ada juga orang yang hanya berencana. Saya kira, Mang Iwan telah menemukan berbagai tipe orang-orang tersebut dalam organisasi-organisasi yang pernah digelutinya, sehingga saya tidak melihat ekspresi terkejut ketika salah satu atau mungkin beberapa orang semacam itu turut mewarnai masa kepemimpinannya.

Tentunya, kepemimpinan Mang Iwan di KPMJB tidak berjalan tanpa cacat. Sebagai manusia, tentunya ada banyak rencana yang berjalan tak sesuai rencana, ada program yang berlangsung tak optimal, ada spirit yang turun naik, dan berbagai kekurangan lain yang masih perlu dievaluasi dan diperbaiki. Tapi kiranya inilah yang sementara ini terbesit di benak saya tentang Mang Iwan dan kepemimpinannya di penghujung periode kepengurusan ini. Besar harapan, semoga siapapun Gubernur baru yang nanti akan memimpi KPMJB dapat mempertahankan kebaikan-kebaikan yang ada, dan terus melakukan inovasi yang membuat KPMJB menjadi lebih baik. 

Terima kasih, Mang, sudah memberikan kepercayaannya kepada saya. Tidak ada kepercayaan yang sia-sia, tidak ada pengabdian yang sia-sia. Semoga setelah lepas dari jabatan KPMJB, Mang Iwan segera menemukan perempuannya, menikahinya, dan semoga perempuan itu bisa memasangkan dasi dengan baik. Mang Iwan sadar kan, setiap menghadiri acara formal yang mengharuskan memakai jas dan dasi, Mang Iwan suka tiba-tiba ingin punya istri yang bisa masangin dasi. Hati-hati jangan sampai salah kirim pesan lagi, nanyain "Teteh udah bobo?" tapi dikirimnya ke grup anak-anak KPMJB. Bunuh diri kan jadinya ...  

Mungkin testimoni ini terlalu subjektif dan pledoy, tapi saya tak membohongi pikiran dan hati nurani. 

28 Februari 2015

Komentar