Batu marmer
berwarna hijau menjadi 'selamat datang' pertama, bagi siapapun yang datang
mengunjungi Pasangrahan Jawa Barat di Kairo, Mesir. Sebuah prasasti peresmian
rumah sekaligus sekretariat bagi warga Jawa Barat yang berdomisili di Mesir.
Barangkali tidak banyak yang tahu apa isi dari prasasti tersebut. Gugusan kata
normatif dan multi-interpretatif ini bisa jadi hanya oleh segelintir orang saja
yang berusaha membacanya sampai tuntas, lalu memahaminya dengan baik.
Setidaknya ada pesan yang hendak disampaikan tentang pandangan masa depan
mengenai Pasangrahan dan warga Jawa Barat ke depannya.
Hampir
keseluruhan isi dari prasasti ini merupakan isi dari Prasasti Astana Gede yang
ditemukan di daerah Kawali, Ciamis, Jawa Barat. Prasasti ini masih erat
kaitannya dengan keberadaan Kerajaan Sunda Galuh, dan sering disebut-sebut
sebagai tugu peringatan masa kejayaan Prabu Wastu Kancana, putra dari Prabu
Lingga Buana yang gugur ketika Perang Bubat. Setidaknya, filosofis-historis
yang dimiliki isi prasasti ini secara sengaja turut dihadirkan dalam Prasasti
Pasangrahan Jawa Barat yang ada di Kairo. Spirit kejayaan, milestone visioner,
dan pesan-pesan bijak yang tertuang dalam setiap katanya, seperti tengah
menyimpan mimpi besar bagi keberadaan warga Jawa Barat.
Hayua
diponah-ponah (Janganlah dirintangi). Manusia hidup dengan aturan-aturan.
Keteraturan inilah yang mengarahkan manusia agar tetap berjalan di atas jalur.
Aturan Tuhan, aturan alam, aturan sosial, aturan budaya, semua senantiasa
berotasi dalam ritme alur kehidupan manusia. Segala hal seperti telah
diciptakan dengan konsekuensi-kosekuensi. Artinya, ada pengendali dari setiap
aturan itu. Tapi inilah manusia yang hidup dengan nafsu dan hasrat kebebasan.
Selalu ada gejolak untuk melakukan perlawan terhadap ketentuan-ketentuan yang
bahkan sudah jelas konsekuensinya. Kiranya itulah alasan mengapa larik ini
menjadi larik pertama yang tertuang dalam Prasasti Jawa Barat.
Hayua
dicawuh-cawuh (Janganlah diganggu). Pola-pola interaksi antara manusia dan alam
seperti arus energi, daur materi, dan lainnya merupakan interaksi yang dinamis.
Karenanya, akan selalu ada perubahan dalam setiap aspeknya, sesuai dengan
pergerakan kurva kebutuhan, keinginan, dan kepentingan-kepentingan manusia yang
aktif. Akan tetapi, manusia perlu bijak dalam menyikapi dinamisme ini. Ada hal
yang perlu digunakan seperlunya, ada hal-hal yang tidak bisa diganggu gugat
keberadaannya. Setidaknya larik ini mengisyaratkan untuk senantiasa
pandai-pandai memosisikan diri, menitipkan diri, mawas diri.
Inya neker inya
anger (Ia dihormati, ia tetap). Budayawan Sunda, Hawe Setiawan, pernah
mengatakan bahwa puisi mengajarkan pengakuan terhadap segala hal, bahkan pada
hal-hal kecil yang bagi sebagian orang dianggap tidak penting. Kiranya cara
puisi mengakui multihal itu patut diadopsi dalam kehidupan sosial. Local wisdom
'someah hade ka semah' perlu menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat
Jawa Barat di manapun berada, khususnya di Mesir. Ramah terhadap tamu berarti
murah senyum, tangan terbuka, menjamu, menjaga, memelihara, membahagiakan orang
lain, dandarehdeh (membungkukkan badan/rendah hati) dalam segala kesempatan.
Neker berarti respect, menghargai orang lain, dan toleran terhadap perbedaan.
Jika kearifan lokal itu masih mampu terjaga dengan baik meski berada di tanah
orang lain, maka ada nilai yang berhasil dipertahankan dengan baik. Sebuah
nilai yang tidak lagi diukur lewat ucap pujian atau sanjungan, tapi lebih dari
itu.
Inya ninycak
inya rempeg (Ia diinjak, ia roboh). Jika nilai, norma, dan aturan sudah tak
lagi diacuhkan, maka ada jati diri yang dipertaruhkan. Laiknya manusia yang
membentuk budaya dan budaya yang membentuk identitas, sebuah satu kesatuan yang
tidak bisa hidup tanpa wajah aslinya. Identitas adalah kepribadian yang melekat
ke manapun, di manapun, apapun. Sehingga tidak mungkin seseorang memperkenalkan
dirinya sendiri menggunakan identitas orang lain. Krisis identitas adalah
kerobohan jati diri yang sejatinya harus dihindari. Maka, kalimat ini
setidaknya mendeskripsikan bahwa segala yang ditinggalkan akan rusak tanpa
jejak, roboh tinggal cerita.
Ulah diruksak
(Jangan dirusak). Pasangrahan Jawa Barat adalah rumah bersama. Setiap orang
boleh mengunjunginya, beraktivitas di dalamnya, membuat banyak manfaat, dan
menularkan kebaikan-kebaikan di dalamnya. Kendati demikian, rumah bersama
adalah tanggung jawab bersama. Bukan tanggung jawab mereka yang dulu
membangunnya, bukan mereka yang memiliki ide keberadaannya, bukan pula hanya
mereka yang menjadi pengurus di dalamnya. Rumah kita adalah tanggung jawab
kita. Setidaknya jika tidak mampu membangunnya, maka menjaganya. Jika tak mampu
membersihkannya, maka memelihara kebersihannya, jika tak mampu menjadi pelopor
kebaikan, maka jadilah pengikut kebaikan yang baik. Menjaga Pasangrahan bukan
hanya soal menjaga fisiknya. Di luar lingkaran fisik, ada yang lebih intrinsik
dan urgen untuk dijaga. Ini soal nama baik yang haram hukumnya untuk dirusak,
atau bahkan hanya sekadar dinodai dengan warna yang tidak seharusnya.
Pasangrahan bukan media dan wadah yang didirikan dengan tujuan untuk
orang-orang yang kontra-produktif, statis-kreativisme, tidak menghendaki
inovasi dan hal-hal baru, tidak menghargai sejarah dan warisan, dan tidak ikut
andil dalam mengharumkan nama Jawa Barat, meski hanya sekadar berkeinginan.
Jika Tulus mengatakan dalam lirik lagunya, "Jangan cintai aku apa
adanya", maka begitu pun dengan Pasangrahan Jawa Barat yang seolah-olah
senantiasa mengatakan kalimat itu kepada para warganya. Ada tuntutan sekaligus
dorongan untuk senantiasa terus memacu diri dan mempelajari lintas bidang,
memperkaya wawasan, dan berbuat lebih banyak manfaat untuk kepentingan
universal.
Ulah samena-mena
(Jangan Sewenang-wenang). Sebuah kutipan sederhana 'More Talents, Less Ego'
menjadi kalimat pengingat yang terpasang di salah satu sudut ruangan di
Pasangrahan KPMJB. Sebuah kalimat meritokratif persuasif yang mengajak untuk
tidak merasa pang-aing-na, merasa paling berjasa, merasa paling terhormat, dan
merasa paling-paling lainnya. Tri tangtu yang menyatakan silih asah, silih
asih, silih asuh (saling mengasah, saling menyayangi, saling
mengasuh/mengayomi/membimbing) adalah prinsip berpikir masyarakat Jawa Barat
yang sepatutnya diterapkan. Yang ada adalah yang berpengalaman mengajarkan yang
belum berpengalaman, saling berproses, dan saling menghargai satu sama lain.
Mun dipiara
bakal anger (Jika dijaga akan tetap). Cukuplah usia menjadi alasan bagi
ketidaklayakan Pasangrahan Jawa Barat. Dengan begitu, hal ini akan
mendeskripsikan warga yang baik, yang mampu menjaga titipan, yang mampu
memelihara fasilitas dan aktivitas dengan baik. Tidak ada gading yang tak
retak, tidak ada pula sebuah bangunan yang dibangun untuk keabadian selain
bangunan pengabdian. Keikhlasan menjadi mata rantai yang begitu penting
maknanya dalam menjaga dan memelihara Pasangrahan Jawa Barat. Barangkali memang
tidak ada materi yang didapatkan oleh mereka yang dengan tulus mencintai Jawa
Barat, mencintai warga Jawa Barat, mencintai Pasangrahan Jawa Barat. Tapi
materi menjadi hal lain ketika ikhlas dan cinta mampu berkolaborasi membangun
harmoni dalam bingkai pengabdian.
Mun ditincak
bakal rempag (Jika diinjak akan retak/roboh). Usia yang laju dan umur yang
subur menyimpan cerita tidak serta merta membuat Pasangrahan menjadi tempat
statis, awet, dan staganan dalam pola kualitas yang sama. Tentunya ada beberapa
bagian yang memerlukan perbaikan, penambahan, pengurangan, pergantian,
pembaruan, dan perubahan-perubahan lain yang tentunya untuk kebaikan bersama.
Tapi sebagai manusia dewasa yang tidak lagi memiliki perasaan mengandalkan,
sepatutnya turun tangan dalam hal-hal yang bersifat diandalkan. Layaknya
menunggu angkot di rel kereta, perubahan itu tidak akan datang menghampiri
mereka yang tidak punya keinginan dan kemauan, juga tidak bagi mereka yang
selalu memikirkan hal-hal besar tanpa memulainya dari hal-hal kecil.
Terlepas dari
itu semua, saya sadar bahwa semua yang saya tulis ini hanyalah sebuah
interpretasi, takwil, atau bahkan hanya penafsiran liar. Tentunya ada makna
yang jauh lebih tepat dari semua yang saya tulis, dan tentunya dengan referensi
yang memadai. Dalam hal ini, sejatinya tidak saya miliki kapasitas dan
kapabilitas yang layak untuk sekadar menerjemahkan prasasti normatif yang
setiap hari setiap waktu saya dan bahkan mungkin banyak orang lihat di depan
pintu. Ini hanya sebuah ungkapan seorang warga yang sedang berusaha mencintai
tanah kelahirannya dengan baik.
We [heart] West
Java ;)
24 November 2014
Komentar
Posting Komentar