Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Cerpen: Terjebak Menjadi Istimewa

Seminggu lagi, Ujian Akhir Semester akan berlangsung. Hampir semua dosen telah menyampaikan kata-kata penutupan mata kuliahnya. Menyampaikan permohonan maaf, dan mendoakan agar evaluasi pembelajaran mahasiswanya membuahkan hasil yang memuaskan. Permohonan maaf seindah apapun, tetap saja ada beberapa mata kuliah yang tingkat kesukarannya sulit dimaafkan. Minggu tenang adalah istilah paling nihil dalam memori ingatanku, ingatan kami, ingatan mahasiswa-mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab. Rasa tegang menghadapi ujian sudah hadir jauh sebelum pelaksanaannya tiba. Sepertinya, ketegangan senang sekali mempermainkan kami, membuat kami merasa ketakutan, dihantui rasa khawatir, dan lain sebagainya. Tak ada alasan untuk mencegahnya, bahkan berdoa saja benar-benar tak mampu membuat keadaan menjadi lebih baik. Sama halnya dengan Ujian Akhir Semester kemarin, obat tegang itu adalah nilai IP yang membolehkan mengambil SKS penuh lagi di semester berikutnya.

Jargon manusia modern senang dengan yang instan itu nampaknya begitu nyata di lingkunganku. Jalan pintas agar ketegangan semacam ‘minggu tenang’ tidak lagi mengahantui adalah bisikan-bisikan untuk pindah jurusan. Karena merasa tidak berada pada tempat yang tepat, korban-korban ketegangan itu merasa harus pindah medan perang. Padahal, berpindah medan perang sama artinya dengan berpindah pada area dengan musuh yang masih utuh. 

Perlu senjata ekstra tentunya. Atau analogi lainnya seperti menggali sumur baru sedangkan sumur sekarang sudah memiliki kedalaman beberapa meter. Desas-desus pindah jurusan menjadi buah bibir di setiap perbincangan mahasiswa BSA. Terdengar pengecut memang, tapi inilah faktanya. Mereka yang merasa kalah sebelum berperang benar-benar rela disebut pengecut dari pada harus bersimbah darah mempelajari Bahasa dan Sastra Arab. Bahkan beberapa teman datang menghampiriku hanya untuk menanyakan hal-hal yang tidak aku inginkan. Seminarkah? Motivasikah? Ucapan dosenkah?

Semua itu tak benar-benar berhasil memperbaiki keadaan. Maka, di sinilah niat benar-benar tengah diuji. Seberapa teguh niat kita menghadapi lingkungan semacam ini?

“Kamu mau tetep di BSA?” tanya Kanis dengan raut penuh keraguan. Kanis adalah salah satu ‘kandidat’ mahasiswa yang sejak jauh-jauh hari mengatakan akan pindah jurusan, keluar dari kelas BSA. 

“Loh, Lu ngeraguin Gue?” tanyaku membanting pertanyaannya. Kanis hanya diam, seperti berusaha mengumpulkan tenaganya untuk mengungkapkan banyak kata-kata yang tertahan di tenggorokan. Angin berhembus basa-basi mempermainkan kerudungnya beberapa saat, sebelumnya akhirnya Kanis kembali membuka mulutnya, menggerakan bibirnya yang sedikit bergetar.

“Ya,,, enggak sih, cuma nanya aja” ujarnya dengan intonasi menggantung. Aku yakin dia sendiri bingung dengan jawabannya. Tak mungkin menanyakan hal seperti itu dengan serius, tapi ketika kutanggapi ia hanya menjawab alakadarnya. Sepertinya Kanis ingin sekali memperbincangkan suatu hal denganku yang akan berlangsung asik namun searah. Tapi dari sorot matanya, aku tahu bahwa ia baru saja menyimpulkan bahwa tidak ada topik menarik untuk dibahas denganku. Dan benar saja, tak lama ia pamit dengan dalih pergi ke warung, membungkus beberapa macam gorengan, dan membawanya ke dalam kelas.

Kanis bukanlah satu-satunya orang yang melakukan hal semacam itu di depanku. Bertanya dengan harapan akan aku sepakati, lalu berbicara panjang lebar, dan sebagainya. Mereka benar-benar kuanggap angin lewat, pencari sensasi, tak lebih. Sampai suatu hari, aku merasa muak dengan obrolan tak penting itu. Karena betapapun sepelenya, pertanyaan dan perbincangan seperti itu benar-benar mengganggu. Anggap saja satu semut itu sepele, tapi ada banyak semut yang menggerayangi tubuh, ini butuh tindakan. Di sebuah meja kantin dengan tiga mangkuk mie ayam. Tiga gelas teh manis dingin tersaji begitu menggoda. Botol sambal, botol kecap, botol cuka, beberapa sendok dan sumpit juga ikut memenuhi meja makan kami. Di meja makan ini, kuutarakan pendapatku sebenarnya. 

Kuharap, Uti dan Ika menjadi tahu dan tidak lagi membahas pindah jurusan, sekalipun yang akan pindah itu adalah orang lain. 

“Sejujurnya aku gak begitu suka bahasa arab. Hanya kebetulan saja, waktu UN SMA, nilai Arabku bagus, terus waktu mondok, aku jadi muharrik lugot, akhirnya orang tua ngasih rekomendasi suapaya kuliah Bahasa Arab.” tuturku membuka perbincangan.

“Tapi kan ndo tuh udah hebat Arabnya, jadi gak ada masalah meski kuliah di BSA. Tapi kan buat temen-temen kita, gak gitu” Ika menyanggah ceritaku. Komentarnya didukung penuh oleh ekspresinya. Sangat meyakinkan dengan apa yang diucapkannya. Uti hanya memainkan sedotan di gelas minumannya, memerhatikan namun terlihat tidak begitu antusias.

“Ini bukan soal bisa atau gak bisa mbat, ini hanya soal niat sama gak niat aja. Di sekelas kita, kelas aku, hampir 90% alumni Pondok Bahasa semua, dan aku tuh bukan. Pondokku biasa aja, bukan bahasa, salaf juga bukan. Ya artinya setengah-setengah.” Aku mencoba mempertahankan asumsi agar tak ada lagi celah bagi kedua temanku tak setuju. Mereka tampak ragu ketika mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulutku, entah apa yang terjadi dalam benak mereka berdua. Kupikir ada hal yang sama dalam benak Uti dan Ika.

“Terus apa yang bikin kamu niat? Si Opik ya? Ehmm....” Uti mulai meledekku. Nama Opik sudah seperti makhluk gentayangan paling mengerikkan jika dibayangkan. Entahlah, pria satu ini begitu terobsesi mendekatiku, bahkan adik kembaranku. Untuk alasan yang tak kumengerti, aku membencinya.

“Ya e lah,,,, semangat ngampus cuma karena bocah tengil itu? Owalah, gak banged!” jawabku menyalakan suasana yang kurasa terlalu serius. 

“Tsumma?” tanya Ika menuntut jawaban.

“Gue lagi passion-passion-nya sama sastra. Arab kan gudangnya sastra, so. Lu berdua pernah gak sih merasa nyaman ketika denger bacaan quran? Gue bukannya sok suci ya, tapi ni tuh nyata banget gue rasain!” ujarku menutup percakapan mengenai BSA dan pindah jurusan. Selebihnya, kami kembali menjadi anak muda yang membicarakan hijab, make up, pacar orang, dan mie ayam tentunya.

Matahari merangkak naik mendekati ubun-ubun. Pengeras suara mulai terdengar bergeming seperti ada gesekan plastik, atau lebih pada suara serak di tenggorokan yang terekam pelantang. Adzan mulai menyeru kesibukan manusia. Alam seperti terhenti sesaat, turut menenggelamkan diri dalam harmoni dzuhur. Suara adzan, kendaraan di jalanan, tawa mahasiswa, dan suara mesin-mesin di proyek pembangunan kampus, semuanya berpacu saling susul satu sama lain di hampar udara.

“Biar, biar, aku yang bayarin. Kan ndo udah bayarin aku kemaren” ujar Uti menghalangiku untuk membayar semua makanan. Aku hanya melongo melihat tingkah temanku itu.

“Tumben lu insaf!” godaku meledek tingkahnya. Uti hanya tersenyum sambil menyodorkan beberapa lembar uang kertas ke Mang Eman, pedagang mie ayam yang sangat kami kenal.

Kami masih duduk-duduk di bangku yang masih nyaman kami nikmati. Hanya sekadar melepaskan lelah, mengistirahatkan tubuh yang beberapa waktu dihabiskan untuk makan sekaligus ngobrol dan bercanda. Atau lebih tepatnya, kami duduk-duduk tanpa obrolan hanya untuk mengumpulkan kembali tenaga, karena satu jam lagi masih ada mata kuliah yang akan segera ditutup sang dosen. Gelas teh milik Ika masih terisi setengahnya. Gelasku dan Uti hanya tersisa beberapa bongkahan kecil es batu. Kami saling diam, saling menunggu. Masing-masing asik dengan ponselnya masing-masing. Tertawa sendiri, berekspresi sendiri, tanpa alasan yang tak diketahui satu sama lain.

“Udah yuk, ke mesjid dulu!” ajakku hendak menghentikan aktivitas kedua temanku yang sepertinya masing-masing namun terlihat melakukan hal yang sama.

“Ntar dulu, boleh ngomong dulu bentar gak?” Ika menawarkan sesuatu yang lain dari intonasinya. Kami pun kembali duduk bersama untuk waktu yang jauh lebih lama dari sebelumnya.

Ayah selalu mengatakan bahwa sastra itu jauh lebih nikmat dibanding masakan ibu. Jika mengatakan hal itu di depan ibu, pasti ibu akan marah. Tapi dalam banyak hal, ayah selalu menyamaratakan sastra dengan masakan ibu. Katanya, menikmati karya sastra adalah menikmati masakan ibu. Jika masakan ibu membuat ayah betah tinggal di rumah, maka sastra mampu membuat ayah betah tinggal di dunia. Ketika kutanya alasannya, ia hanya jawab ‘masakan istri adalah deskripsi keharmonisan, sedangkan sastra adalah cara bagaimana membijaki dunia’.

Aku tak begitu tahu seberapa dalam hubungan ayah dengan sastra. Tapi setidaknya, aku tahu dari caranya melakoni hidup, bahwa ia adalah sastrawan yang paling keren yang pernah ada dalam hidupku. Karya-karyanya, teman-temannya, prestasinya, semua mempresentasikan banyak hal tentang ayah dan sastra. Maka, aku pun menjadi belajar mencintai sastra, karena yakin bahwa jiwa sastranya ayah telah ada mengalir dalam darahku. Namun rupanya, belajar sastra dan menggeluti prosesnya tidaklah semudah melihat senyuman ayah. Ada proses yang tak terlihat di balik senyuman ikhlas ayah untuk anaknya. Aku tak tahu proses apa yang menurut ayah sulit. Tapi bagiku, menggeluti perkuliahan sastra kali ini adalah salah satu bagian sulit yang tengah kuhadapi. Aku selalu berusaha untuk tetap yakin dengan apa yang aku yakini. Sekalipun kali ini keadaannya lain, bahkan semakin buruk.

Dua sahabatku melakukan hal yang sama, namun mereka ungkapkan dengan baik-baik. Keduanya (juga) akan pindah jurusan. Dan ini benar-benar menyakitkan, membunuh dari belakang dengan cara yang paling lambat. Sejak desas-desus pindah jurusan itu menghangat,

mereka berdualah yang tahu bagaimana perasaanku, tanggapanku, pendapatku, dan mereka pula yang mengiyakan, menyetujui, ngangguk bareng, geleng bareng. Sampai pada keadaan seperti ini, aku merasa guru sastra pertamaku lah yang harus kukunjungi. Aku merasa benar-benar butuh usapan tangan dan dekap hangatnya.

“Nak, kamu tahu kenapa masakan ibu bisa begitu enak?” tanya ayah setelah kuceritakan segala yang kukeluhkan dalam benakku. Aku hanya menggeleng dan tak berani melihat wajah yang menurutku paling bijak itu. Ayah mengambil napas begitu berat, namun ia keluarkan dengan cara agar aku tak merasakan keberatan dalam perasaannya itu. Ia menepuk sofa yang kosong tepat di samping tubuhnya. Sebagai isyarat agar aku duduk di dekatnya, aku mendekatinya.

“Ibu memasak dari tidak enak dulu. Sampai menjadi enak, prosesnya panjang sekali. Cara ayah mengatakan ungkapan enak untuk masakan ibu selalu berbeda di tiap masanya. Karena enaknya masakan ibu juga ada tahapanya. Belajar mencintai bahasa arab, bahasa negeri sejuta peradaban sastra, adalah perjalanan panjang yang baru kamu datangi gerbangnya saja. Ya, kalau baru di gerbang saja sudah kalah, gimana nantinya? Tantangan menjadi sastrawan itu lebih besar ndo!” Ada nada optimisme dalam setiap pilihan kata ayah.

Matanya berbicara lebih banyak dari mulutnya. Di korneanya, secercah cahaya muncul dan kurasakan semakin membesar. Terang dan begitu hangat.

“Ini bukan soal bahasa arabnya Yah, tapi lingkungannya! Masa ketika aku bilang ‘aku rela meski harus sekelas cuma bertiga doang sama Ika, sama Uti’ dua temanku itu juga malah ikut-ikutan mau pergi?” semakin deras rasa kesalku bercampur dengan marah. Kombinasi itu keluar secara utuh tidak hanya dari caraku bicara yang begitu ayah tahu, tapi juga air mata sangat sulit kutahan.

Bertahan di zona yang menurut mereka sulit adalah suatu keistimewaan. Kenapa aku harus tidak siap menjadi orag yang istimewa?

***

Cerpen ini pernah menjadi Juara 1 Lomba Tulis Cerpen dalam acara Festival Sastra Arab, Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati Bandung 2013.

Komentar