Puasa,
Puisi, dan Kompetensi Kejujuran
Maulana
Abdul Aziz
Email:
maulanabdulaziz@gmail.com
Abstrak
Tulisan
ini bertujuan untuk memaparkan keterkaitan antara puasa dan puisi dalam rangka
membangun potensi kejujuran bagi para pelaku puasa dan pembuat puisi. Selama
ini, puasa dan puisi masih dipandang sebelah mata dalam paradigma khalayak
ramai. Padahal, kedua hal ini memiliki satu esensi yang sama dalam hal
pembentukan moral pelakunya, salah satunya kejujuran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskripsi dan pustaka. Referensi bersumber pada buku-buku
perpustakaan pribadi, perpustakaan umum, modul seminar, dan internet.
Kata
Kunci: Puasa, Puisi, Nilai Moral
Pendahuluan
Di
era yang sangat kompleks ini, penetrasi keluar masuk secara bebas adalah
fenomena sosial yang sangat lumrah terjadi dalam tatanan masyarakat. Pluralitas
budaya, corak teknologi dan hasil perubahan yang ikut merasuk ke dalam
pori-pori kehidupan masyarakat menjadi satu pembicaraan penting dalam wacana
modernisasi, terlebih westernisasi. Sejalan dengan gaya hidup masyarakat di
pelbagai lapisan, tampaknya wajah moral bangsa ini juga ikut terkena cipratan
dari segala kausalitas itu. Salah satunya adalah masalah moral yang dewasa ini
sangat krusial, luntur dan memudar dari nilai aslinya (true value), terlebih
tentang kejujuran.
Sudah
sepatutnya, Indonesia sebagai bangsa yang dikenal karena budaya timurnya yang
lekat, ma(mp)u menjunjung tinggi nilai-nilai moral seperti kejujuran. Kiranya,
upaya pendidikan karakter yang tengah hangat-hangatnya diperbincangkan,
merupakan langkah nyata mewujudkan masyarakat Indonesia yang sadar karakter,
sadar jati diri, dan memiliki akhlak/moral yang baik, salah satunya kejujuran.
Namun di abad ini, kejujuran menjadi satu mata rantai paling berharga, yang
sudah sangat sulit dicari keberadaannya. Kering kerontangnya nilai kejujuran
dalam rutinitas kehidupan masyarakat, membuat kita harus berpikir lebih keras
tentang apa yang sebenarnya harus
dilakukan agar kejujuran itu (kembali) tumbuh subur di tanah yang notabenenya
mampu menyuburkan segala tanaman ini, Indonesia. Di jalan, di institusi baik
negeri maupun swasta, di mall, di pasar tradisional, di taman, di ruang ujian,
dan di tempat lainnya, kejujuran hari ini tinggallah sebuah mata rantai yang
mulai berkarat.
Maka
dalam wacana ini, manusia sebagai makhluk sastra yang senantiasa menjungjung
nilai-nilai estetik yang mengajarkan manusia itu sendiri agar mencapai puncak
kebenaran jati dirinya, dan sebagai makhluk agama yang memiliki sisi
transendensi profetikisme dalam dirinya yang menuntun arah dirinya agar
mencapai puncak religiusitasnya, adalah dua hal yang dinilai sangat strategis
untuk dijadikan satu wadah kontemplasi dalam konteks mewujudkan kejujuran.
Pembahasan
Puasa:
Rukun dan Syarat
Puasa
menurut bahasa berarti “menahan”, sedangkan menurut syara’ ialah “menahan nafsu
dari setiap yang membatalkan puasa, dengan memenuhi syarat yang akan
diterangkan”.
Puasa
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti menghindari makan, minum, dan
sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan). Secara
istilah, KBBI mengartikan puasa sebagai salah satu rukun Islam berupa ibadah
menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai
terbit fajar sampai terbenam matahari.
Puasa
(dalam konteks Islam) dikatakan sempurna jika dibangun atas dua unsur besar,
yaitu syarat dan rukun. Syarat berarti segala sesuatu yang harus ada dalam
puasa, namun bukan bagian dari puasa. Syarat puasa terbagi dua, ada syarat
wajib, ada syarat sah. Syarat wajib antara lain:
(1)
Beragama Islam.
Puasa tidak saja diajarkan dalam Islam. Penganut agama lain pun mengenal
istilah puasa dalam agamanya. Hanya saja, proses pelaksanaannya yang berbeda.
Namun, dalam konteks keIslaman, yang diperbolehkan melaksanakan puasa hanyalah
mereka yang beragama Islam.
(2)
Akil Baligh.
Yaitu sampai pada titik usia dewasa yang ditentukan oleh syara’. Bagi
perempuan, usia baligh minimalnya 9 tahun. Sedangkan bagi laki-laki berusia 15
tahun.
(3)
Kuat melakukan
puasa. Puasa dilakukan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Perbedaan
letak geografis, turut pula menentukan lamanya tempo dalam pelaksaan puasa.
Misalnya, jangka waktu puasa di Indonesia selama 13 jam. Tapi di Eropa, puasa
bisa dilakukan selama 18 jam. Maka, kuat dalam berpuasa pun menjadi syarat
wajib dalam melakukan puasa.
Adapun
yang menjadi syarat sah puasa antara lain:
(1)
Beragama Islam.
Dalam banyak agama, puasa banyak dilakukan orang. Namun dalam konteks Islam,
puasa adalah kewajiban yang harus dilakukan seseorang yang beragama Islam.
(2)
Mumayyiz, yaitu
sudah bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Orang sunda biasa menyebutnya
dengan istilah hideng, artinya selain sudah tahu dan bias membedakan antara
yang hak dan yang batil, tapi juga memiliki kemampuan memahami sesuatu secara
mumpuni.
(3)
Suci dari haid
dan nifas (bagi perempuan).
(4)
Pada waktu yang
dibolehkan puasa. Artinya, puasa dilakukan di bulan Ramadan, atau hari-hari
yang disunatkan. Puasa tidak dilakukan pada hari-hari terlarang untuk melakukan
puasa, misalnya hari tasyrik, hari raya ied, dan lain sebagainya.
Rukun
dalam melaksanakan puasa hanya ada dua macam. Pertama, berniat pada malam hari
(khusus bagi puasa yang hukumnya wajib). Tidak disyaratkan mengucapkan lafadz
niat, bahkan hanya disunatkan.
Puisi:
Pengertian dan Unsur
Sastra
pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata - mata sebuah
imitasi. Karya
sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya
adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang
kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi
tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga, Puisi diartikan sebagai ragam
sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik
dan bait.
Sedangkan
dalam Kamus Istilah Sastra, puisi diartikan sebagai gubahan dalam bahasa yang
bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga memertajam kesadaran orang
akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama,
dan makna khusus.
Shahnon
Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya
dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
(1)
Samuel Taylor
Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan
terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara
sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur
lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
(2)
Carlyle
mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair
menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam
puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya
yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
(3)
Wordsworth
mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu
perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi
itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
Dari
definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun
tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan
bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu
sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada,
irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan
yang bercampur-baur.
Jika
dianalogikan, puisi adalah suatu sistem yang terbentuk dari berbagai macam
unsur pembentuknya. Secara garis besar, unsur dalam puisi terbagi menjadi dua
bagian. Pertama disebut struktur fisik (ekstrinsik), yang kedua disebut
struktur batin (intrinsik).
Struktur
batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal-hal
sebagai berikut:
(1)
Tema/makna
(sense. Tema merupakan satu benang merah yang mengikat sebuah puisi, gambaran
berbicara tentang apa puisi tersebut.
(2)
Rasa (feeling),
yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya.
Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan
psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin,
kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan
psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam
menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih
kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak
bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang
terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.
(3)
Nada (tone),
yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan
rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja
sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja
kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4)
Amanat/tujuan/maksud
(intention). Sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan
puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun
dapat ditemui dalam puisinya.
Sedangkan
struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah
sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi.
Unsur ekstrinsik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1)
Perwajahan
puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi yang ditulis penyair berkenaan dengan
tepi kanan-kiri, pengaturan baris, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat
menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2)
Diksi, yaitu
pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi
adalah media yang mengungkapkan banyak makna dengan sesedikit mungkin kata. Maka
kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi
erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.
(3)
Imaji, yaitu
kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi,
seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba
atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan
melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.
(4)
Bahasa
figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif
menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya
akan makna (Waluyo, 1987:83).
(5)
Rima, yaitu
keselarasan bunyi pada akhir larik. Rima terbagi menjadi beberapa macam. Ada
rima peluk (abba), rima silang (abab), rima kembar (aabb), dan rima patah
(aaab).
Puasa
dan Kejujuran
Puasa,
bukan dalam pengertian saum dalam Islam, merupakan ibadah transendental yang
dilakukan dengan tujuan agar lebih dekat dengan Tuhan. Secara kontekstual,
puasa berisi serangkaian kegiatan yang menahan lapar dan dahaga, semedi,
berdiam diri di tempat yang sepi, menahan diri untuk tidak bertemu orang, dan
kegiatan lainnya yang bersifat intim. Artinya, puasa adalah jalan yang harus
ditempuh untuk lebih dekat dengan Sang Adikodrati, demi sebuah pencapaian yang
diinginkan.
Puasa
semacam itu memang dilarang dalam Islam. Secara kongkrit, Islam menyuratkan
bahwa puasa adalah ibadah yang hanya dikhususkan untuk Allah swt. sebagai kado
spesial. Disebut spesial, karena puasa adalah satu-satunya ibadah yang secara
langsung hanya dinilai oleh Allah. Karena merupakan kado spesial, Allah pun
menunjukkan cara-caranya. Pada bagian paling luar, kita diperintahkan untuk
menahan lapar dan dahaga. Lebih masuk pada epidermis berikutnya, kita harus
menahan hawa nafsu, terlebih syahwati. Sampai titik sana, ‘kado spesial’ itu
ternyata tidak hanya istimewa bagi Allah, tapi juga istimewa bagi pelakunya.
Misalnya, pelaku menjadi sehat secara fisik, karena puasa pada kenyataannya
berdampak baik menurut ilmu kesehatan.
Namun,
jika puasa hanya diartikan sebagai satu bentuk pekerjaan ibadah yang hanya
mengejar nilai fisiknya, maka puasa hanya akan dirasakan sebagai pekerjaan yang
melelahkan, dan tentunya yang didapat hanya efek untuk fisik semata, kesehatan
misalnya. Ada sisi lain yang perlu dilihat bahwa puasa pun nyatanya mengajarkan
moral.
Setidaknya
ada beberapa hal yang bias ditarik sebagai alasan bahwa puasa mengajarkan
kejujuran:
a.
Tempo ibadah
puasa yang dijalankan dari sejak sahur sampai magrib merupakan isyarat bagi
pelakunya untuk jujur melaksanakan ibadah tersebut. Mungkin dalam
pelaksanaannya, ada yang menjalankan puasa di tempat yang sepi selama seharian,
tanpa keramaian aktivitas banyak orang, dan sebenarnya bias berbuka kapanpun ia
mau. Tapi nyatanya, setiap orang yang berpuasa dituntut untuk berbuka hanya
pada waktunya, magrib.
b.
Biasanya, orang
tua akan mengatakan pada anaknya untuk tidak berbohong jika sedang berpuasa,
dengan ancaman akan membatalkan puasa. Meskipun pada kenyataannya, berbohong
itu bukan satu dari factor-faktor yang membatalkan puasa. Meskipun demikian,
larangan untuk tidak berbohong ketika puasa, yang mungkin jika berbohong akan
mengurangi nilai puasa, menjadi alasan tepat bahwa puasa mengajarkan kejujuran.
c.
Jika perut
adalah sumber segala penyakit, maka keadaan perut juga bisa menjadi salah satu
faktor banyak orang tidak berlaku jujur. Karena dalih membutuhkan materi
pengisi perut, orang berbondong-bondong untuk korupsi misalnya, atau perilaku
tidak jujur lainnya. Dalam konteks ini, puasa menjadi jawaban strategis yang
mengajarkan orang untuk jujur.
d.
Selain menahan
lapar, ibadah puasa juga harus menahan nafsu. Menahan nafsu untuk tidak makan,
untuk tidak marah, juga untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak baik. Selama
puasa, nafsu benar-benar harus diarahkan ke arah positif, dengan tujuan agar
nilai-nilai puasa tersebut dapat terbawa dan tumbuh subur di luar kegiatan
puasa.
Puisi
dan Kejujuran
Sampai
saat ini, puisi hanya dianggap sebagai produk yang hanya ma(mp)u dihasilkan
oleh segelintir orang saja. Padahal, sesungguhnya setiap insan siapa pun dia,
tidak dapat mengelak bahwa kehidupannya selalu berada dalam ruangan puisi.
Meminjam kata dari Acep Zamzam Noor, bahw setiap hari, siapapun, adalah
penyair. Karena disadari atau tanpa disadari, setiap kata dan tutur bicara yang
diucapkan seseorang mengandung banyak sekali metafora, personifikasi, dan
gramatika lainnya, yang bisa hadir dan duduk manis dalam puisi. Hanya saja,
mengapa kita harus ditakdirkan hidup dalam lingkungan puisi, lebih jauhnya
harus sesering mungkin menyetubuhi puisi? Mengapa pula harus menjadi penyair
setiap hari?
Membaca
puisi tendensinya adalah cara bagaimana kita harus menyelami sebuah puisi
dengan membacanya hanya untuk diri sendiri (silent reading). Hawe
Setiawan menuturkan bahwa sesungguhnya puisi adalah cara untuk mengakui sebuah
keberadaan. How the manner to appreciate something. Puisi adalah
pengakuan seseorang terhadap suatu hal, suatu keadaan, I would like to
appreciate you. Dalam hal mengakui keberadaan, puisi mengintruksi penyair untuk
jujur tentang dirinya sendiri, tentang keadaannya, dan tentang segala hal.
Karena bagaimanapun, puisi bukan hanya sebuah karya sastra dengan deretan
kata-kata yang indah, tapi lebih pada makna media pengakuan. Pemaknaan yang
sederhana ini bisa kita tarik sebagai sebuah wacana, yang bisa kita jadikan
jalan terdekat untuk mengapresiasi keberadaan suatu hal. Karena tidak sah
dikatakan mengakui keberadaan suatu hal, atau seseorang, jika hanya
mengungkapkannya lewat lisan, bahasa fisik, dan tendensinya hanya eksplisit
semata. Berbeda dengan puisi. Pengakuan yang dilahirkan seorang penyair lewat
kekuatan makna dalam puisinya, merupakan bentuk transendental yang utuh dengan
sistem yang lengkap.
Ketika
seseorang menulis puisi semisal ia dalam keadaan galau, maka sesungguhnya ia
tengah mengakui keberadaan galau, menghargainya dan memosisikannya sebagai
the real object of art. Begitu pun ketika seseorang menulis puisi untuk
orang lain, maka sesungguhnya ia mengakui keberadaan orang yang dimaksudkannya.
Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa hanya seorang penyairlah yang
senantiasa jujur mengakui keberadaan suatu hal, sebagai bentuk penghargaan dan
perhatian, ketika di dunia ini tidak ada orang yang mengakui keberadaannya.
Sebagai contoh, siapa yang dengan serius mengakui keberadaan puntung rokok
dalam asbak, selain penyair yang menyematkannya sebagai “frasa mulia” dalam
puisinya.
Layaknya
kekuatan seni dalam jiwa seseorang, yang nyatanya seni tak bisa dipaksakan.
Jika dipaksakan, maka akan lain hasilnya. Begitupun dengan puisi yang tak bisa
dipaksakan untuk ditulis, kecuali dengan sadarnya sang penulis. Puisi akan jadi
jika penyairnya jujur terlebih dahulu tentang dirinya. Puisi dalam hal ini
serupa gelas yang siap menampung apapun yang dituangkan. Ibaratkat hati adalah
pocinya, dengan isi cairan yang berbeda-beda sesuai hasrat pemiliknya. Jika
yang dituangkan adalah air kopi dengan cara pembuatan yang sangat terpaksa,
rasanya mungkin tidak akan sesuai keinginan, atau ada yang hilang dari
kenikmatannya. Begitupn puisi, jika tidak diantarkan oleh rasa jujur, maka akan
ada sesuatu yang hilang dari keutuhannya.
Meskipun
kita disebut penyair setiap hari, belum sah menjadi penyair jika belum
menyadarinya. Dan langkah kongkret yang bisa kita cerna adalah senantiasa
belajar jujur untuk mengakui keberadaan apapun dalam kehidupan ini, sebagai
suatu titik profetikisme yang menjadikannya sebagai paradigma bahwa apapun
dalam kehidupan ini adalah makhluk Allah, yang juga diakui keberadaannya oleh
Allah. Sedikit kita tengok, bagaimana puitisnya Allah dalam membimbing kita
lewat Alquran yang sangat puitis. Bukankah dengan kita menyelami Alquran secara
mendalam, alam bawah sadar kita akan merasakan sebuah pengakuan Tuhan terhadap
makhluk-Nya, betapa pedulinya Allah terhadap makhluk penuh dosa sekali pun.
Dengan tidak mengatakan Alquran sebagai sebuah karya sastra, dalam hal ini
puisi epic /prosaic, itulah gambaran bagaimana indahnya mengungkapkan sebuah
pengakuan keberadaan melalui puisi. Tidak hanya liteter secara gramatika, tapi
lebih mengejar fungsi sastra yang docere (memberi nikmat), movere
(menggerakan), dan delectare (mengajarkan).
Dalam
ruangan puisi, menulis puisi adalah kegiatan paling jujur yang dilakukan
seseorang. Menuangkan segala ekspresi lewat barisan kata-kata, rupanya
merupakan aktivitas kejujuran yang harus dilakukan seorang penyair. Tentu saja,
masalah ungkapan hati tidak bisa dinisbatkan pada hal-hal beraroma plagiasi.
Artinya, puisi melarang ‘umatnya’ untuk berbuat plagiasi, tidak jujur, dan
mengelabui para penikmat puisi dengan cara ‘mencuri kejujuran orang lain’.
Kontruksivitas
Kejujuran
Bagaimana
mungkin hidup yang sangat dinamis dengan segala lika-liku yang dimilikinya bisa
seeksotis dan seindah puisi-puisi cinta para penyair. Pertanyaan itu bisa
menemukan jawabannya hanya dalam kenikmatan ibadah, ketika tubuh benar-benar
jauh dari segala rayu maut debu-debu duniawi dan hasrat negatif syahwati
pengekang hawa nafsu. Dalam ibadah, seorang manusia dapat dengan bebas
merebahkan segala rindunya untuk Tuhan, berdoa dan melantunkan segala
puja-puji, seolah segala urusan dunia itu melebur terhempas di udara untuk
kemudian tidak kembali lagi.
Hidup
ini penuh corak, aroma, warna, dan nadanya seperti puisi. Ada yang hitam,
putih, quo, bahagia, derita, susah, senang, beredar, berpendar, keikhlasan,
pengabdian, perjuangan, kejujuran, dusta, pengkhianatan, kesedihan, hingga
akhirnya lahir semacam pengakuan aneh, bahwa hidup laksana puisi. Lalu teringat
bahwa puisi pun ada yang baik, ada pula yang buruk. Tentu, alat pengukur
kualitas sebuah puisi ada pada tendensi struktur diksi, metafora, dan rasa yang
dimilikinya. Pertanyaannya, bagaimana menilai kehidupan seseorang antara yang
baik dan yang buruk, dan dengan apa penilaian itu bisa terukur.
Puasa
dengan segala syarat dan rukunnya, kiranya menjadi simbol yang membedakan
antara muslim dengan kafir. Sudah menjadi keniscayaan, dengan ibadah puasa,
identitas kemusliman seseorang akan menyeruak keluar sehingga membentuk ikatan
muslim dalam dengung telinga banyak orang. Terlebih jika nilai-nilai yang
dimiliki puasa benar-benar terpatri dalam cara hidup seseorang. Tentu akan
lebih terukur. Meskipun secara lebih intim, puasa mengajarkan kejujuran manusia
di hadapan Tuhannya, tapi di sisi lain, nilai-nilai puasa menjadi tombak
estetika kehidupan moral banyak pelakunya. Seperti halnya puisi, estetika
menjadi puncak tertinggi jagad kepenulisan para penyair.
Setidaknya,
ada satu hal yang menjadi benang merah yang menyatukan puasa dan puisi ketika
keduanya duduk memperbincangkan kejujuran. Keduanya sama-sama senang dengan
kontemplasi diri. Puasa yang dilakukan seseorang laksana petapa yang menjauhkan
diri dari keramaian, demi menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Begitupun seorang
penyair, yang akan membuhkan banyak sekali kesendirian ketika hasrat
berpuisinya senantiasa klimaks. Keduanya berjalan dalam ruang yang sama, namun
kanvas yang berbeda.
Kesimpulan
Puasa
bukan hanya semata aktivitas ibadahnya seorang hamba untuk Tuhannya, tapi juga
menjadi media yang memberikan pengaruh intrinsic bagi pelakunya. Salah satunya
adalah kejujuran. Meskipun tendensinya adalah jujur kepada Allah, tapi juga
menjadi intruksi untuk merambahkan sifat jujur itu pada kehidupan social. Puisi
tidak hanya sebatas karya sastra yang hanya bergelut di ruang apresiasi semata,
tapi juga menjadi media penyampai nilai-nilai moral dan humanism. Dalam proses
penciptaannya, puisi mengajarkan pelakunya untuk jujur, terlebih ketika puisi
diartikan sebagai bahasa hati. Puasa dan puisi sama-sama menjadi perjalanan
panjang para pelakunya untuk menemukan keintiman suatu hal. Puasa berarti
menjadi keintiman hubungan dengan Tuhan, sedangkan puisi membutuhkan
kesendirian untuk kesempurnaan kontemplasi. Ketika keduanya sama-sama mencari
keintiman, keduanya mengajarkan kejujuran terhadap diri sendiri bagi para
pelakunya.
Daftar
Pustaka
Al-Fannani,
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari. 1994. Terjemah Fat-hul Mu’in: Jilid 1.
Bandung: Percetakan Sinar Baru Algesindo.
Pusat
Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional. 2005.
Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Suyanto
& M. Ikhwan. 2008. Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar kelas V.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Laman
http://abdurrosyid.wordpress.com/2009/07/27/puisi-pengertian-dan-unsur-unsurnya/.
Diakses 18 Juni 2012.
Kamus
Istilah Kesusastraan, Cetakan Ketiga. 2007. Jakarta: Balai Pustaka.
Setiawan,
Hawe. 2012. Modul Workshop Bahasa dan Sastra Sunda: Maca Sajak. Bandung:
Disparbud Jabar.
Muhammad,
Damhuri. 2010. Darah Daging Sastra Indonesia, Cetakan pertama. Yogyakarta:
Penerbit Jalasutra
Pradoko,
Rachmat Djoko. 2007. Prinsip-Prinsip
Kritik Sastra, Cetakan Keempat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Komentar
Posting Komentar