Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Puasa, Puisi, dan kompetensi Kejujuran

Puasa, Puisi, dan Kompetensi Kejujuran

Maulana Abdul Aziz

Email: maulanabdulaziz@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan keterkaitan antara puasa dan puisi dalam rangka membangun potensi kejujuran bagi para pelaku puasa dan pembuat puisi. Selama ini, puasa dan puisi masih dipandang sebelah mata dalam paradigma khalayak ramai. Padahal, kedua hal ini memiliki satu esensi yang sama dalam hal pembentukan moral pelakunya, salah satunya kejujuran.  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi dan pustaka. Referensi bersumber pada buku-buku perpustakaan pribadi, perpustakaan umum, modul seminar, dan internet.

Kata Kunci: Puasa, Puisi, Nilai Moral

Pendahuluan

Di era yang sangat kompleks ini, penetrasi keluar masuk secara bebas adalah fenomena sosial yang sangat lumrah terjadi dalam tatanan masyarakat. Pluralitas budaya, corak teknologi dan hasil perubahan yang ikut merasuk ke dalam pori-pori kehidupan masyarakat menjadi satu pembicaraan penting dalam wacana modernisasi, terlebih westernisasi. Sejalan dengan gaya hidup masyarakat di pelbagai lapisan, tampaknya wajah moral bangsa ini juga ikut terkena cipratan dari segala kausalitas itu. Salah satunya adalah masalah moral yang dewasa ini sangat krusial, luntur dan memudar dari nilai aslinya (true value), terlebih tentang kejujuran.

Sudah sepatutnya, Indonesia sebagai bangsa yang dikenal karena budaya timurnya yang lekat, ma(mp)u menjunjung tinggi nilai-nilai moral seperti kejujuran. Kiranya, upaya pendidikan karakter yang tengah hangat-hangatnya diperbincangkan, merupakan langkah nyata mewujudkan masyarakat Indonesia yang sadar karakter, sadar jati diri, dan memiliki akhlak/moral yang baik, salah satunya kejujuran. Namun di abad ini, kejujuran menjadi satu mata rantai paling berharga, yang sudah sangat sulit dicari keberadaannya. Kering kerontangnya nilai kejujuran dalam rutinitas kehidupan masyarakat, membuat kita harus berpikir lebih keras tentang apa yang sebenarnya  harus dilakukan agar kejujuran itu (kembali) tumbuh subur di tanah yang notabenenya mampu menyuburkan segala tanaman ini, Indonesia. Di jalan, di institusi baik negeri maupun swasta, di mall, di pasar tradisional, di taman, di ruang ujian, dan di tempat lainnya, kejujuran hari ini tinggallah sebuah mata rantai yang mulai berkarat.

Maka dalam wacana ini, manusia sebagai makhluk sastra yang senantiasa menjungjung nilai-nilai estetik yang mengajarkan manusia itu sendiri agar mencapai puncak kebenaran jati dirinya, dan sebagai makhluk agama yang memiliki sisi transendensi profetikisme dalam dirinya yang menuntun arah dirinya agar mencapai puncak religiusitasnya, adalah dua hal yang dinilai sangat strategis untuk dijadikan satu wadah kontemplasi dalam konteks mewujudkan kejujuran.

 

Pembahasan

Puasa: Rukun dan Syarat

Puasa menurut bahasa berarti “menahan”, sedangkan menurut syara’ ialah “menahan nafsu dari setiap yang membatalkan puasa, dengan memenuhi syarat yang akan diterangkan”.[1]

Puasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti menghindari makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan). Secara istilah, KBBI mengartikan puasa sebagai salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari.[2]

Puasa (dalam konteks Islam) dikatakan sempurna jika dibangun atas dua unsur besar, yaitu syarat dan rukun. Syarat berarti segala sesuatu yang harus ada dalam puasa, namun bukan bagian dari puasa. Syarat puasa terbagi dua, ada syarat wajib, ada syarat sah. Syarat wajib antara lain:[3]

(1)         Beragama Islam. Puasa tidak saja diajarkan dalam Islam. Penganut agama lain pun mengenal istilah puasa dalam agamanya. Hanya saja, proses pelaksanaannya yang berbeda. Namun, dalam konteks keIslaman, yang diperbolehkan melaksanakan puasa hanyalah mereka yang beragama Islam.

(2)         Akil Baligh. Yaitu sampai pada titik usia dewasa yang ditentukan oleh syara’. Bagi perempuan, usia baligh minimalnya 9 tahun. Sedangkan bagi laki-laki berusia 15 tahun.

(3)         Kuat melakukan puasa. Puasa dilakukan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Perbedaan letak geografis, turut pula menentukan lamanya tempo dalam pelaksaan puasa. Misalnya, jangka waktu puasa di Indonesia selama 13 jam. Tapi di Eropa, puasa bisa dilakukan selama 18 jam. Maka, kuat dalam berpuasa pun menjadi syarat wajib dalam melakukan puasa.

Adapun yang menjadi syarat sah puasa antara lain:

(1)            Beragama Islam. Dalam banyak agama, puasa banyak dilakukan orang. Namun dalam konteks Islam, puasa adalah kewajiban yang harus dilakukan seseorang yang beragama Islam.

(2)            Mumayyiz, yaitu sudah bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Orang sunda biasa menyebutnya dengan istilah hideng, artinya selain sudah tahu dan bias membedakan antara yang hak dan yang batil, tapi juga memiliki kemampuan memahami sesuatu secara mumpuni.

(3)            Suci dari haid dan nifas (bagi perempuan).

(4)            Pada waktu yang dibolehkan puasa. Artinya, puasa dilakukan di bulan Ramadan, atau hari-hari yang disunatkan. Puasa tidak dilakukan pada hari-hari terlarang untuk melakukan puasa, misalnya hari tasyrik, hari raya ied, dan lain sebagainya.

Rukun dalam melaksanakan puasa hanya ada dua macam. Pertama, berniat pada malam hari (khusus bagi puasa yang hukumnya wajib). Tidak disyaratkan mengucapkan lafadz niat, bahkan hanya disunatkan.[4]

Puisi: Pengertian dan Unsur

Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata - mata sebuah imitasi.[5] Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga, Puisi diartikan sebagai ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.[6]

Sedangkan dalam Kamus Istilah Sastra, puisi diartikan sebagai gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga memertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus.[7]

Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.[8]

(1)    Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.

(2)    Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.

(3)    Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.

Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.

Jika dianalogikan, puisi adalah suatu sistem yang terbentuk dari berbagai macam unsur pembentuknya. Secara garis besar, unsur dalam puisi terbagi menjadi dua bagian. Pertama disebut struktur fisik (ekstrinsik), yang kedua disebut struktur batin (intrinsik).

Struktur batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal-hal sebagai berikut:

(1)        Tema/makna (sense. Tema merupakan satu benang merah yang mengikat sebuah puisi, gambaran berbicara tentang apa puisi tersebut.

(2)        Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.

(3)        Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.

(4)        Amanat/tujuan/maksud (intention). Sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

Sedangkan struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Unsur ekstrinsik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut:

(1)         Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi yang ditulis penyair berkenaan dengan tepi kanan-kiri, pengaturan baris, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.

(2)         Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah media yang mengungkapkan banyak makna dengan sesedikit mungkin kata.[9] Maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.

(3)         Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.[10]

(4)         Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna (Waluyo, 1987:83).[11]

(5)         Rima, yaitu keselarasan bunyi pada akhir larik. Rima terbagi menjadi beberapa macam. Ada rima peluk (abba), rima silang (abab), rima kembar (aabb), dan rima patah (aaab).

Puasa dan Kejujuran

Puasa, bukan dalam pengertian saum dalam Islam, merupakan ibadah transendental yang dilakukan dengan tujuan agar lebih dekat dengan Tuhan. Secara kontekstual, puasa berisi serangkaian kegiatan yang menahan lapar dan dahaga, semedi, berdiam diri di tempat yang sepi, menahan diri untuk tidak bertemu orang, dan kegiatan lainnya yang bersifat intim. Artinya, puasa adalah jalan yang harus ditempuh untuk lebih dekat dengan Sang Adikodrati, demi sebuah pencapaian yang diinginkan.

Puasa semacam itu memang dilarang dalam Islam. Secara kongkrit, Islam menyuratkan bahwa puasa adalah ibadah yang hanya dikhususkan untuk Allah swt. sebagai kado spesial. Disebut spesial, karena puasa adalah satu-satunya ibadah yang secara langsung hanya dinilai oleh Allah. Karena merupakan kado spesial, Allah pun menunjukkan cara-caranya. Pada bagian paling luar, kita diperintahkan untuk menahan lapar dan dahaga. Lebih masuk pada epidermis berikutnya, kita harus menahan hawa nafsu, terlebih syahwati. Sampai titik sana, ‘kado spesial’ itu ternyata tidak hanya istimewa bagi Allah, tapi juga istimewa bagi pelakunya. Misalnya, pelaku menjadi sehat secara fisik, karena puasa pada kenyataannya berdampak baik menurut ilmu kesehatan.

Namun, jika puasa hanya diartikan sebagai satu bentuk pekerjaan ibadah yang hanya mengejar nilai fisiknya, maka puasa hanya akan dirasakan sebagai pekerjaan yang melelahkan, dan tentunya yang didapat hanya efek untuk fisik semata, kesehatan misalnya. Ada sisi lain yang perlu dilihat bahwa puasa pun nyatanya mengajarkan moral.

Setidaknya ada beberapa hal yang bias ditarik sebagai alasan bahwa puasa mengajarkan kejujuran:

a.       Tempo ibadah puasa yang dijalankan dari sejak sahur sampai magrib merupakan isyarat bagi pelakunya untuk jujur melaksanakan ibadah tersebut. Mungkin dalam pelaksanaannya, ada yang menjalankan puasa di tempat yang sepi selama seharian, tanpa keramaian aktivitas banyak orang, dan sebenarnya bias berbuka kapanpun ia mau. Tapi nyatanya, setiap orang yang berpuasa dituntut untuk berbuka hanya pada waktunya, magrib.

b.      Biasanya, orang tua akan mengatakan pada anaknya untuk tidak berbohong jika sedang berpuasa, dengan ancaman akan membatalkan puasa. Meskipun pada kenyataannya, berbohong itu bukan satu dari factor-faktor yang membatalkan puasa. Meskipun demikian, larangan untuk tidak berbohong ketika puasa, yang mungkin jika berbohong akan mengurangi nilai puasa, menjadi alasan tepat bahwa puasa mengajarkan kejujuran.

c.       Jika perut adalah sumber segala penyakit, maka keadaan perut juga bisa menjadi salah satu faktor banyak orang tidak berlaku jujur. Karena dalih membutuhkan materi pengisi perut, orang berbondong-bondong untuk korupsi misalnya, atau perilaku tidak jujur lainnya. Dalam konteks ini, puasa menjadi jawaban strategis yang mengajarkan orang untuk jujur.

d.      Selain menahan lapar, ibadah puasa juga harus menahan nafsu. Menahan nafsu untuk tidak makan, untuk tidak marah, juga untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak baik. Selama puasa, nafsu benar-benar harus diarahkan ke arah positif, dengan tujuan agar nilai-nilai puasa tersebut dapat terbawa dan tumbuh subur di luar kegiatan puasa.

Puisi dan Kejujuran

Sampai saat ini, puisi hanya dianggap sebagai produk yang hanya ma(mp)u dihasilkan oleh segelintir orang saja. Padahal, sesungguhnya setiap insan siapa pun dia, tidak dapat mengelak bahwa kehidupannya selalu berada dalam ruangan puisi. Meminjam kata dari Acep Zamzam Noor, bahw setiap hari, siapapun, adalah penyair. Karena disadari atau tanpa disadari, setiap kata dan tutur bicara yang diucapkan seseorang mengandung banyak sekali metafora, personifikasi, dan gramatika lainnya, yang bisa hadir dan duduk manis dalam puisi. Hanya saja, mengapa kita harus ditakdirkan hidup dalam lingkungan puisi, lebih jauhnya harus sesering mungkin menyetubuhi puisi? Mengapa pula harus menjadi penyair setiap hari?

Membaca puisi tendensinya adalah cara bagaimana kita harus menyelami sebuah puisi dengan membacanya hanya untuk diri sendiri (silent reading). Hawe Setiawan menuturkan bahwa sesungguhnya puisi adalah cara untuk mengakui sebuah keberadaan. How the manner to appreciate something. Puisi adalah pengakuan seseorang terhadap suatu hal, suatu keadaan, I would like to appreciate you. Dalam hal mengakui keberadaan, puisi mengintruksi penyair untuk jujur tentang dirinya sendiri, tentang keadaannya, dan tentang segala hal. Karena bagaimanapun, puisi bukan hanya sebuah karya sastra dengan deretan kata-kata yang indah, tapi lebih pada makna media pengakuan. Pemaknaan yang sederhana ini bisa kita tarik sebagai sebuah wacana, yang bisa kita jadikan jalan terdekat untuk mengapresiasi keberadaan suatu hal. Karena tidak sah dikatakan mengakui keberadaan suatu hal, atau seseorang, jika hanya mengungkapkannya lewat lisan, bahasa fisik, dan tendensinya hanya eksplisit semata. Berbeda dengan puisi. Pengakuan yang dilahirkan seorang penyair lewat kekuatan makna dalam puisinya, merupakan bentuk transendental yang utuh dengan sistem yang lengkap.

Ketika seseorang menulis puisi semisal ia dalam keadaan galau, maka sesungguhnya ia tengah mengakui keberadaan galau, menghargainya dan memosisikannya sebagai the real object of art. Begitu pun ketika seseorang menulis puisi untuk orang lain, maka sesungguhnya ia mengakui keberadaan orang yang dimaksudkannya. Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa hanya seorang penyairlah yang senantiasa jujur mengakui keberadaan suatu hal, sebagai bentuk penghargaan dan perhatian, ketika di dunia ini tidak ada orang yang mengakui keberadaannya. Sebagai contoh, siapa yang dengan serius mengakui keberadaan puntung rokok dalam asbak, selain penyair yang menyematkannya sebagai “frasa mulia” dalam puisinya.

Layaknya kekuatan seni dalam jiwa seseorang, yang nyatanya seni tak bisa dipaksakan. Jika dipaksakan, maka akan lain hasilnya. Begitupun dengan puisi yang tak bisa dipaksakan untuk ditulis, kecuali dengan sadarnya sang penulis. Puisi akan jadi jika penyairnya jujur terlebih dahulu tentang dirinya. Puisi dalam hal ini serupa gelas yang siap menampung apapun yang dituangkan. Ibaratkat hati adalah pocinya, dengan isi cairan yang berbeda-beda sesuai hasrat pemiliknya. Jika yang dituangkan adalah air kopi dengan cara pembuatan yang sangat terpaksa, rasanya mungkin tidak akan sesuai keinginan, atau ada yang hilang dari kenikmatannya. Begitupn puisi, jika tidak diantarkan oleh rasa jujur, maka akan ada sesuatu yang hilang dari keutuhannya.

Meskipun kita disebut penyair setiap hari, belum sah menjadi penyair jika belum menyadarinya. Dan langkah kongkret yang bisa kita cerna adalah senantiasa belajar jujur untuk mengakui keberadaan apapun dalam kehidupan ini, sebagai suatu titik profetikisme yang menjadikannya sebagai paradigma bahwa apapun dalam kehidupan ini adalah makhluk Allah, yang juga diakui keberadaannya oleh Allah. Sedikit kita tengok, bagaimana puitisnya Allah dalam membimbing kita lewat Alquran yang sangat puitis. Bukankah dengan kita menyelami Alquran secara mendalam, alam bawah sadar kita akan merasakan sebuah pengakuan Tuhan terhadap makhluk-Nya, betapa pedulinya Allah terhadap makhluk penuh dosa sekali pun. Dengan tidak mengatakan Alquran sebagai sebuah karya sastra, dalam hal ini puisi epic /prosaic, itulah gambaran bagaimana indahnya mengungkapkan sebuah pengakuan keberadaan melalui puisi. Tidak hanya liteter secara gramatika, tapi lebih mengejar fungsi sastra yang docere (memberi nikmat), movere (menggerakan), dan delectare (mengajarkan).

Dalam ruangan puisi, menulis puisi adalah kegiatan paling jujur yang dilakukan seseorang. Menuangkan segala ekspresi lewat barisan kata-kata, rupanya merupakan aktivitas kejujuran yang harus dilakukan seorang penyair. Tentu saja, masalah ungkapan hati tidak bisa dinisbatkan pada hal-hal beraroma plagiasi. Artinya, puisi melarang ‘umatnya’ untuk berbuat plagiasi, tidak jujur, dan mengelabui para penikmat puisi dengan cara ‘mencuri kejujuran orang lain’.

Kontruksivitas Kejujuran

Bagaimana mungkin hidup yang sangat dinamis dengan segala lika-liku yang dimilikinya bisa seeksotis dan seindah puisi-puisi cinta para penyair. Pertanyaan itu bisa menemukan jawabannya hanya dalam kenikmatan ibadah, ketika tubuh benar-benar jauh dari segala rayu maut debu-debu duniawi dan hasrat negatif syahwati pengekang hawa nafsu. Dalam ibadah, seorang manusia dapat dengan bebas merebahkan segala rindunya untuk Tuhan, berdoa dan melantunkan segala puja-puji, seolah segala urusan dunia itu melebur terhempas di udara untuk kemudian tidak kembali lagi.

Hidup ini penuh corak, aroma, warna, dan nadanya seperti puisi. Ada yang hitam, putih, quo, bahagia, derita, susah, senang, beredar, berpendar, keikhlasan, pengabdian, perjuangan, kejujuran, dusta, pengkhianatan, kesedihan, hingga akhirnya lahir semacam pengakuan aneh, bahwa hidup laksana puisi. Lalu teringat bahwa puisi pun ada yang baik, ada pula yang buruk. Tentu, alat pengukur kualitas sebuah puisi ada pada tendensi struktur diksi, metafora, dan rasa yang dimilikinya. Pertanyaannya, bagaimana menilai kehidupan seseorang antara yang baik dan yang buruk, dan dengan apa penilaian itu bisa terukur.

Puasa dengan segala syarat dan rukunnya, kiranya menjadi simbol yang membedakan antara muslim dengan kafir. Sudah menjadi keniscayaan, dengan ibadah puasa, identitas kemusliman seseorang akan menyeruak keluar sehingga membentuk ikatan muslim dalam dengung telinga banyak orang. Terlebih jika nilai-nilai yang dimiliki puasa benar-benar terpatri dalam cara hidup seseorang. Tentu akan lebih terukur. Meskipun secara lebih intim, puasa mengajarkan kejujuran manusia di hadapan Tuhannya, tapi di sisi lain, nilai-nilai puasa menjadi tombak estetika kehidupan moral banyak pelakunya. Seperti halnya puisi, estetika menjadi puncak tertinggi jagad kepenulisan para penyair.

Setidaknya, ada satu hal yang menjadi benang merah yang menyatukan puasa dan puisi ketika keduanya duduk memperbincangkan kejujuran. Keduanya sama-sama senang dengan kontemplasi diri. Puasa yang dilakukan seseorang laksana petapa yang menjauhkan diri dari keramaian, demi menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Begitupun seorang penyair, yang akan membuhkan banyak sekali kesendirian ketika hasrat berpuisinya senantiasa klimaks. Keduanya berjalan dalam ruang yang sama, namun kanvas yang berbeda.      

 

Kesimpulan

Puasa bukan hanya semata aktivitas ibadahnya seorang hamba untuk Tuhannya, tapi juga menjadi media yang memberikan pengaruh intrinsic bagi pelakunya. Salah satunya adalah kejujuran. Meskipun tendensinya adalah jujur kepada Allah, tapi juga menjadi intruksi untuk merambahkan sifat jujur itu pada kehidupan social. Puisi tidak hanya sebatas karya sastra yang hanya bergelut di ruang apresiasi semata, tapi juga menjadi media penyampai nilai-nilai moral dan humanism. Dalam proses penciptaannya, puisi mengajarkan pelakunya untuk jujur, terlebih ketika puisi diartikan sebagai bahasa hati. Puasa dan puisi sama-sama menjadi perjalanan panjang para pelakunya untuk menemukan keintiman suatu hal. Puasa berarti menjadi keintiman hubungan dengan Tuhan, sedangkan puisi membutuhkan kesendirian untuk kesempurnaan kontemplasi. Ketika keduanya sama-sama mencari keintiman, keduanya mengajarkan kejujuran terhadap diri sendiri bagi para pelakunya.

Daftar Pustaka

Al-Fannani, Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari. 1994. Terjemah Fat-hul Mu’in: Jilid 1. Bandung: Percetakan Sinar Baru Algesindo.

Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional. 2005.  Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Suyanto & M. Ikhwan. 2008. Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar kelas V. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Laman http://abdurrosyid.wordpress.com/2009/07/27/puisi-pengertian-dan-unsur-unsurnya/. Diakses 18 Juni 2012.

Kamus Istilah Kesusastraan, Cetakan Ketiga. 2007. Jakarta: Balai Pustaka.

Setiawan, Hawe. 2012. Modul Workshop Bahasa dan Sastra Sunda: Maca Sajak. Bandung: Disparbud Jabar.

Muhammad, Damhuri. 2010. Darah Daging Sastra Indonesia, Cetakan pertama. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra

Pradoko, Rachmat Djoko. 2007.  Prinsip-Prinsip Kritik Sastra, Cetakan Keempat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.



[1] Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani. Terjemah Fat-hul Mu’in: Jilid 1. Bandung: Percetakan Sinar Baru Algesindo (1994). Halaman 607.

[2] Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka (2005). Halaman 902

[3] Suyanto & M. Ikhwan. Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar kelas V. Jakarta: Penerbit Erlangga (2008). Halaman 118.

[4] Op.cit. Halaman 614.

[5] Laman http://abdurrosyid.wordpress.com/2009/07/27/puisi-pengertian-dan-unsur-unsurnya/  Diakses 18 Juni 2012.

[6] Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka (2005). Halaman 903

[7] Kamus Istilah Kesusastraan, Cetakan Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka (2007). Halaman 159.

[8] Laman http://definisi.net/story.php?title=puisi/ Diakses 18 Juni 2012.

[9] Hawe Setiawan. Modul Workshop Bahasa dan Sastra Sunda: Maca Sajak. Bandung: Disparbud Jabar (2012).

[10] Laman Http://abdurrosyid.wordpress.com/2009/07/27/puisi-pengertian-dan-unsur-unsurnya/ Diakses 18 Juni 2012.

[11] Ibid.

Komentar