Sesendok cairan berwarna biru dituangkan ke dalam gelas berisi cairan berwarna kuning. Kedua cairan tersebut berjumlah imbang, sehingga mampu menghasilkan warna yang baru, warna hijau. Begitu kiranya analogi Islam masuk ke bumi Indonesia. Dalam ragamnya yang variatif, Indonesia berdiri sebagai satu bangsa yang mampu menarik banyak orang di seluruh penjuru dunia untuk sekadar mengenalnya, mengunjunginya, bahkan mencintainya.
Sejarah mencatat, bukan hanya bangsa Portugis yang datang pertama kali mencicipi kenikmatan tanah Indonesia, namun setelah kepergiannya ada banyak kaum yang singgah, bahkan menetap. Salah satunya adalah para pedagang dari bangsa Gujarat.
Kekayaan rempah-rempah, eksotisme alam, juga etnik masyarakat yang terkenal ramah dan bersahabat, rupanya telah menjadi faktor tersendiri yang mendorong kedatangan mereka ke Indonesia. Tentunya, sebagai tamu yang datang dengan cara yang ramah pula, masyarakat indonesia mampu menerima mereka selayaknya tuan rumah menerima tamunya. Penetration Pasifique yang bangsa Gujarat lakukan, membuahkan hasil yang telah banyak merubah cara berpikir dan bertindak manusia Indonesia, melalui ajaran Islam yang mereka bawa. Lebih mirip dengan strategi Multi Level Marketing, Islam menyebar dan mengakar ke semua kalangan, tanpa sedikit pun ada unsur kekerasan, paksaan, dan doktrin-doktrin yang terkesan mengancam (Violence Concept).
Jika Indonesia adalah sebuah gelas, masyarakatnya adalah cairan berwarna kuning, dan pendatang dari Gujarat adalah cairan berwarna biru, maka Islam dan Muslim Indonesia adalah warna hijau yang sampai detik ini mendominasi warna Indonesia. Meskipun, dalam proses perjalanannya, ada warna-warna lain yang turut masuk ke dalam gelas kita, menjadi bumbu-bumbu yang menjadikan Indonesia sebagai sebuah Pelangi bernama toleransi.
Jika hari ini kita mengakui tubuh kita tersusun dari pigmen hijau dalam gelas itu, masihkah kita ingat bahwa ada juga warna kuning dalam diri kita, yang juga menjadi satu bagian penting penyebab kita berdiri hari ini? Tentu, bagaimanapun kita harus ingat warna kuning dalam bumi Indonesia kita, karena warna itu bernama Budaya.
Sebelum masa pos-islamisasi, hampir di seluruh jagat Indonesia, memegang teguh kepercayaan Adikodrati bukan pada Tuhan yang hari ini kita akui. Agama yang pada masa itu masih sebagai simbol dogmatis, masih terkalahkan oleh filsafat-filsafat kedaerahan berlandaskan berbagai macam paham, seperti Animisme, Dinamisme, Totemisme, Panteisme, dan lain sebagainya. Barulah setelah itu peradaban masuk ke dalam masa sejarah yang diawali dengan Masa Klasik (Hindu-Budha), di mana pengaruh etnis-etnis India banyak memengaruhi kebudayaan masyarakat Indonesia, baik dari segi adat, tradisi, arsitektur bangunan, seni, tata masyarakat yang kastais, dan tentunya aliran kepercayaan. Baru setelah itu Masa Islam memimpin dengan berdirinya Kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, Samudra Pasai. Dalam masa ini, ada semacam rotasi pengaruh antara Islam dan Hindu-Budha, di mana bangunan Mesjid bercorak kebudayaan India, atau sebaliknya. Integrasi semacam ini memang tidak dilarang, bahkan wajar-wajar saja. Malah menjadi nilai tambah bagi khazanah kebudayaan Indonesia. Kira-kira, ketika waktu beranjak di abad ke-17, imprealis Belanda menjadikan Indonesia masuk ke dalam ruang Masa Kolonial. Tak tanggung-tanggung, tiga setengah abad mereka berdomisili di berbagai daerah Indonesia, mengincar rempah-rempah, membuat aturan yang menyalahi kodrat manusia, deskriminasi tak beradab, bahkan tanpa ampun menguras keringat manusia Indonesia secara paksa. Berbagai macam pemberontakan dilakukan hanya sebatas kedaerahan (pada awalnya), sebelum semuanya melakukan pemberontakan masal pascalahirnya Sumpah Pemuda, Organisasi Budi Utomo, dan Hari Kebangkitan Nasional ketika kalender bertengger di angka 1908. Dalam masa ini pun, ada warna baru masuk ke dalam gelas bernama Indonesia. Warna itu tumbuh cukup pesat melangkahi warna-warna sebelumnya, selain hijau, mencoba mendobrak peradaban Islam. Warna baru bernama ajaran Kristiani.
Sampai sini, sang gelas dituntut banyak hal demi terjaganya air yang mendiami dirinya. Tidak tumpah, atau berganti warna menjadi pertumpahan warna merah. Tuntutan itu yang kemudian melahirkan Masa Kemerdekaan, membuahkan landasan bernegara yang disusun seformal mungkin, dalam proses yang cukup panjang, demi terbentuknya pondasi agar seperti apapun bangunan yang kelak berdiri, tetap menjunjung nilai toleransi dalam menghadapi keberagaman.
Pertanyaanya, bagaimana caranya warna hijau sampai saat ini masih mampu bertahan mendominasi, bahkan menjadikan gelas Indonesia sebagai gelas terhijau di seluruh muka bumi? Jawabannya sederhana, dan telah digagas (sebenarnya) sejak kelahirannya di muka bumi oleh yang dibawanya, Nabi Muhammad saw. Mungkinkah Nabi Muhammad tahu tentang tanah Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, sampai menyusun gagasan semacam itu? Tentu bukan ke arah sana, kita harus meloncatkan pikiran kita. Tapi sebagai cendikiawan, sudah sepatutnya kita mengadopsi cara hidup beliau yang juga menjungjung tinggi nilai toleransi.
Suatu ketika Rasul bersabda, “ada tiga alasan mengapa aku mencintai bahasa arab. Pertama, aku orang arab. Kedua, bahasa arab adalah bahasa Al-Quran. Ketiga, Bahasanya ahli surga“. Apa kaitannya dengan ke-indonesia-an kita?
Kita kutip statement yang pertama, yaitu karena beliau orang arab. Ada bahasa arab, ada budaya arab. Orang arab mencintai bahasa arab, mencintai budaya arab, itu harus. Dan kita orang indonesia, mencintai bahasa dan budaya indonesia, itu jelas harus. Kita harus sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah sepasang adik kakak, yang sudah sepatutnya hidup akur. Kaitannya dengan islam, jika Islam datang dari kebudayaan bangsa arab, dan dipaksakan masuk ke dalam kebudayaan indonesia, kemudian orang indonesia harus mencintai islam, itu mustahil terjadi. Tapi jika terjadi akulturasi dalam dua kebudayaan itu, ini yang menjadi Indonesia dan Islam sangat menarik. Meskipun adapula proses Asimilasi dalam kedua kebudayaan tersebut.
Awalnya ada tradisi melantunkan puji-pujian bagi roh yang bersemayam di pohon, akulturasinya kita rubah, tetap melakukan puji-pujian, tapi bukan untuk roh, melainkan untuk Allah, dzat yang menjadi satu-satunya Tuhan dalam Islam. Awalnya ada upacara syukuran panen ladang dengan cara melepaskan banyak tumpeng ke laut lepas, dengan pengaruh islam dirubah menjadi syukuran memberikan tumpeng itu bukan untuk laut, tapi untuk fakir miskin. Dengan wasilah seperti ini, bukankan akan lebih mudah mencintai Islam, tanpa merasa ada paksaan, atau tanpa harus merubah budaya indonesia yang sudah turun temurun sejak generasi antah berantah.
Dalam perkembangannya, Islam memiliki beberapa catatan sejarah tentang Wali Songo yang menyebar di Indonesia. Salah satunya adalah kisah Sunan Kalijaga yang menyebarkan ajaran Islam di tanah jawa. Medianya sederhana, yaitu lagu daerah. Karena pada masa itu, masyarakat jawa masih lekat dengan tradisinya, sehingga pendekatan yang dilakukan Sunan Kalijaga ditorehkan lewat sebuah tembang, sebagai sebuah dongkrakan Penetratio Pasifique, yang menggiring islam masuk ke ranah masyarakat. Mungkin kita tahu lagu Lir Ilir, atau setidaknya pernah mendengar nama lagu yang berasal dari daerah Jawa itu. Lagu ini menarik, karena kemasannya tetap lokal, namun konteks islamnya sangat kental.
Perpustakaan digital seperti Google memiliki banyak referensi website dan blog yang sudah banyak mengulas tafsiran lagu Lir Ilir. Seperti penulis kutip dari http://marikitalihat.wordpress.com tentang ‘Renungan Tembang Lir-Ilir Sunan Kalijaga’.
Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir.
Dalam bahasa Indonesia artinya ” Bangunlah, bangunlah, tanamannya telah bersemi. Kanjeng Sunan Kalijaga mengingatkan orang-orang islam segera bangun dan bergerak. Karena saatnya telah tiba. Bagaikan tanaman yang telah siap dipanen, demikian pula rakyat di Jawa saat itu (setelah kejatuhan Majapahit) telah siap menerima petunjuk dan ajaran islam dari para wali.
Tak ijo royo-royo,tak sengguh kemanten anyar.
Dalam bahasa Indonesia artinya “ Bagaikan warna hijau yang menyejukkan, bagaikan sepasang pengantin baru”. Hijau adalah warna kejayaan islam, dan agama islam disini digambarkan seperti pengantin baru yang menarik hati siapapun yang melihatnya dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya.
Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi.
Dalam bahasa Indonesia artinya ” Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon belimbing itu “. Yang disebut anak gembala disini adalah PARA PEMIMPIN. Yaitu orang yang mampu menjadi imam yang baik bagi makmumnya yang mengajarkan syari’at Islam. Dan belimbing adalah buah bersegi lima, yang merupakan simbol dari LIMA RUKUN ISLAM. Jadi para pemimpin diperintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk memberi contoh kepada rakyatnya dengan menjalankan ajaran islam secara benar. Yaitu dengan menjalankan LIMA RUKUN ISLAM.
Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodot ira.
Dalam bahasa Indonesia artinya ” Biarpun licin, tetaplah memanjatnya, untuk mencuci kain dodot mu. Dodot adalah sejenis kain kebesaran jawa yang hanya digunakan pada upacara-upacara/saat-saat penting. Dan buah belimbing pada jaman dahulu, karena kandungan asamnya sering digunakan sebagai pencuci kain, terutama untuk merawat kain batik supaya awet. Dengan kalimat ini Sunan Kalijaga memerintahkan orang islam untuk TETAP BERUSAHA MENJALANKAN LIMA RUKUN ISLAM WALAUPUN BANYAK RINTANGANNYA (LICIN JALANNYA). Semua itu diperlukan untuk menjaga kehidupan beragama mereka. Karena menurut orang jawa, AGAMA ITU SEPERTI PAKAIAN BAGI JIWA. Walaupun bukan sembarang pakaian biasa. Pakaian ini diibaratkan sebagai pakaian ketaqwaan kepada Yang Maha Esa.
Dodot iro, dodot iro kumitir bedah ing pinggir
Dalam bahasa Indonesia artinya ” Kain dodotmu, kain dodotmu, telah rusak dan robek. ” Ini menceritakan kemerosotan moral yang telah menyebabkan banyak orang meninggalkan ajaran agama mereka sehingga kehidupan beragama mereka digambarkan seperti pakaian yang telah rusak dan sobek.
Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore.
Dalam bahasa Indonesia artinya ” Jahitlah, tikislah untuk menghadap (Gustimu) nanti sore. ” Seba disini berarti menghadap orang yang berkuasa (raja/gusti) oleh karena itu disebut PASEBAN yaitu tempat menghadap raja. Disini Sunan Kalijaga memerintahkan agar orang jawa memperbaiki kehidupan beragama yang telah rusak tadi dengan cara menjalankan ajaran agama Islam secara benar. Untuk bekal menghadap Allah SWT dihari nanti.
Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane.
Dalam bahasa Indonesia artinya ” Selagi rembulan masih purnama, selagi tempat masih luas dan lapang “. Maksud lirik ini adalah Selagi masih banyak waktu, selagi masih lapang kesempatan (HIDUP), perbaikilah kehidupan beragamamu.
Ya surako…………… surak iyo…………….
Dalam bahasa Indonesia ” Ya bersoraklah, Berteriaklah Iya. ” Disaatnya nanti datang panggilan dari Yang Maha Kuasa nanti (HARI AKHIR/MATI), sepatutnya bagi mereka yang telah menjaga kehidupan beragamanya dengan baik untuk menjawabnya dengan gembira.
Komentar
Posting Komentar