Menelusuri Perjalanan Psikologis Seorang "Pria yang Mencuci Piring"

Apa jadinya ketika seorang psikiater, yang notabene tukang ngobatin orang-orang sedih dan kehilangan, malah mengalami kesedihan dan kehilangan? Buku ini menawarkan perspektif menarik tentang proses berduka melalui pengalaman pribadi seorang psikiater, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ., yang menghadapi kehilangan anaknya. Dengan gaya penulisan yang sederhana dan penuh makna, buku ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia psikis seseorang yang berjuang untuk mengatasi kesedihan dan menemukan kembali kekuatan untuk melanjutkan hidup. Buku ini disusun dengan gaya yang mudah dipahami, menggunakan diksi sederhana yang cocok untuk kalangan luas. Meskipun penulis adalah seorang profesional medis yang akrab dengan istilah psikologi dan kedokteran, ia berhasil mengemas konsep-konsep tersebut dalam bahasa yang sangat mudah dipahami, sehingga pembaca dari berbagai latar belakang dapat menikmati dan mengambil manfaat dari pembacaannya. Secara struktur, buku ini terdiri dari 16 judul, yang secara berur...

Mau Dibawa Ke Mana UIN Bandung?

 "Menjadi Universitas Islam yang unggul dan kompetitif"

Tidak banyak dari civitas akademika UIN yang mengetahui apa maksud dari kalimat diatas, kalimat normatif dan multi-intrepertatif yang bisa jadi pertama kali didengar. Kalimat diatas bukan lain adalah visi UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Suatu pandangan akan masa depan UIN seperti apa kedepannya. Tulisan ini akan saya uraikan melalui pandangan saya terhadap kondisi UIN saat ini jika dibenturkan terhadap visi UIN itu sendiri.

Sudah menjadi tanggung jawab bagi kita semua civitas akademika UIN untuk bersama memikirkan bagaimana Institusi besar ini akan bergerak ke arah mana di masa mendatang. Milestone apa yang akan dicapai, prestasi apa yang akan diraih, dan manfaat apa yang akan dirasakan oleh Indonesia akan keberadaan Lembaga Pendidikan Tinggi Islam ini.

Menjadi Universitas Islam, Universitas Islam menjadi dua kata pertama yang memulai visi UIN SGD. Universitas tentu berbeda dengan Sekolah Tinggi, Institut, apalagi Politeknik. Dalam pemahaman saya, kata-kata selain Universitas masih mewakili beberapa rumpun ilmu tertentu dengan spesialisasi tertentu. Sekolah Tinggi misalnya, ia hanya fokus pada satu disiplin ilmu tertentu. Sedangkan Universitas memiliki makna yang lebih dari itu. Selain lembaganya yang lebih besar dengan multidisiplin ilmu, siapapun bisa belajar di dalamnya (dalam hal ini sekalipun bukan muslim), di sana ada juga penelitian, dan tentunya tuntutan pengabdian yang lebih besar untuk masyarakat. Selain penelitian dan pengabdian, di dalamnya juga terdapat transfer moral, stimulus inspirasi dan pembangunan karakter. Pertanyaan sederhananya adalah karakter apa yang hendak dibangun bagi mahasiswa UIN SGD? Jika pertanyaan ini diajukan kepada para petinggi kampus, saya sangat yakin bahwa jawabannya akan berbeda. Atau dengan kata lain, UIN belum memiliki kejelasan mengenai karakter apa yang hendak diterapkan kepada seluruh mahasiswanya. Karena sejatinya, sebagai perguruan tinggi islam yang besar di Indonesia, layaknya memiliki pandangan jelas mengenai karakter apa yang akan diterapkan dan dimiliki oleh mahasiswanya. Sehingga, masyarakat untuk mengenal UIN tidak perlu datang langsung ke kampusnya, atau membaca brosurnya, cukup dengan melihat bagaimana mahasiswanya bersikap. Artinya, mahasiswa benar-benar dilibatkan sebagai bagian penting dari sebuah pendidikan, tidak hanya sebatas objek pendidikan yang bayar SPP sebagai tanda masuk kampus, dan wisuda sarjana sebagai tanda selesai studi. Karakter memang permasalahan pribadi dan bawaan. Namun lingkungan adalah faktor yang cukup berpengaruh dalam pembentukan karakter. Mungkin bisa saja UIN menjadi kampus paling disiplin dalam waktu. Dengan kedisiplinan, misalnya, mahasiswa dan segenap civitas akademikanya menjadi bekerja serba cepat dan tepat. Atau bisa juga menjadi kampus berbasis lingkungan. Membuang sampah sembarangan dijadikan sebagai salah satu ‘dosa besar’ di lingkungan kampus. Sehingga lingkungan kampus bisa bersih bukan karena jasa petugas kebersihan, tapi karena kesadaran banyak pihak.

Universitas Islam,  kombinasi kata itu menjadi lambang disiplin ilmu yang berkembang di kampus ini. Jurusannya tentang Islam semua atau segala sesuatunya diislamkan? Membicarakan ini, bahasannya menjadi beralih pada persoalan integrasi. Satuan ilmu menyatu menuju Allah, kiranya menjadi makna paling tepat untuk menafsirkan kata Islam di belakang Universitas. Setahun terakhir ini, hangat dibicarakan mengenai jajak pendapat adanya jurusan umum di UIN SGD. Terlebih ketika FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) dikukuhkan, seolah menjadi saudara kembar dari FSH (Fakultas Syariah dan HUkum) namun berbeda aliran. Sebenarnya, jurusan sebanyak apapun bukanlah sebuah masalah, malah ini menjadi nilai tambah bagi nilai Universitas yang bermakna luas dan universal. Ada eksistensi yang hidup sebagai tanda bahwa islam benar-benar masuk ke semua ranah peradaban, ranah ilmu, ranah kebudayaan, sesuai konsep rahmatan lil 'alamin. Tapi di mata saya, integrasi itu belum hadir dengan nyata. Seolah yang bernuansa islam semakin "islam", yang umum seolah masih berproses. Dalam pakaian misalnya, kenapa hanya FTK (Fakultas Tarbiyah dan Keguruan) yang mewajibkan mahasiswinya menggunakan rok? Bukankah kewajiban tidak menggunakan pakaian ketat itu tidak hanya untuk muslimah di FTK? 

Selain jurusan dan tradisi lingkungan, UIN juga memiliki tanggung jawab yang besar terhadap masyarakat yang menyimpan harapan besar terhadap lembaga pendidikan tinggi islam, terlebih kepada sarjana-sarjananya. Dalam rangka menciptakan research university, UIN sudah sepatutnya memikirkan segala hal yang berkaitan dengan penelitian dan pengabdian, seperti seimbangnya kuantitas mahasiswa dengan fasilitas kampus. Jangan sampai jumlah mahasiswa baru yang setiap tahunnya selalu bertambah kisaran 4000 sampai 5000 orang hanya membuat fasilitas kampus semakin tidak terurus. Laboratorium yang jauh tertinggal dari kampus lain, perpustakaan yang terkesan fiksi dan kabur, kantin yang tidak tentu di mana letaknya, mesjid yang masih sepi di waktu salat, tidak adanya ruang hijau yang refresentatif untuk berdiskusi, dan lain sebagainya. Saya hanya berhaap, pembangunan yang tengah gencar-gencarnya dilaksanakan akan berbuah manis sesuai dengan apa yang kita harapkan sejak lama. 

Unggul dan Kompetitif, dalam istilah lainnya world class university. Yang menarik, kenapa begitu banyak kampus swasta yang menggembor-gemborkan kata itu, tapi kampus sebesar dan selegal UIN belum juga mengaungkan kata world class university di balik namanya? Memang pada kenyataannya, titel itu bukanlah suatu jaminan tentang seberapa besarnya sebuah kampus memberikan manfaat bagi Indonesia. Tapi untuk menjadi kampus yang unggul, manfaat menjadi nilai utama yang perlu diusung kampus dalam proses pendidikannya. Saya masih miris ketika melihat ranking universitas yang bertahan di angka ratusan untuk Indonesia, bahkan menjadi UIN kesekian dari 6 UIN yang ada di Indonesia. Saya tidak bicara peringkat UIN SGD di tingkat dunia, karena melihat angka di atas seribu, seperti ada sesuatu yang membuat napas tertahan, jantung berhenti sejenak, dan ribuan kata yang tertahan di tenggorokan. Istilahnya nyesek. Belakangan terakhir, berita tentang ISO 9001 ramai diperbincangkan. Tapi sayang, hanya ada di satu fakultas. Dengan kata lain, baru satu fakultas yang siap untuk menciptakan UIN sebagai kampus yang unggul menuju world class university. Tapi untuk menjadi kampus yang unggul, tidak hanya perlu label dan embel-embel sertifikat di kampus dan ijazah lulusannya, tapi kampus juga perlu mengevaluasi kualitas dosen dan karyawannya. Jangan sampai, billingual class yang diciptakan hanya terjadi ketika mata kuliah Bahasa Inggris dan Bahasa Arab saja. Kampus perlu tahu tentang dosen yang jarang masuk, dana bisikmisi yang kurang dari jumlah aslinya, beasiswa prestasi yang telat datang, manajemen KRS yang acak-acakan, prosedur pembayaran SPP yang rumit jika dilakukan di bank daerah, dan lain sebagainya. Tidak hanya tahu, tapi kampus juga harus mengatasinya. Selain itu, kampus yang unggul jika merujuk ke banyak kampus dunia selalu memiliki asrama mahasiswa yang nyaman dan banyak, dan mewajibkan seluruh mahasiswanya untuk memiliki laptop. Untuk asrama, memang sudah ada, meskipun masih jauh secara fasilitas bila disandingkan dengan asrama kampus lain. Di mata saya, asrama mahasiswa UIN lebih layak disebut pesantren, jika melihat dari banyak aspeknya. Tapi mungkin memang itulah pesantren, bukan asrama. Artinya, UIN tidak hanya sekadar kampus untuk mereka yang melanjutkan studi selepas SLTA, tapi juga kampus untuk mereka yang lulusan pesantren. Di antara Perguruan Tinggi yang ada di Jawa Barat, anggaplah bahwa UIN adalah pesantrennya, dan mahasiswanya adalah para santri intelek. 

Kampus yang unggul juga perlu memiliki kantin mahasiswa yang secara resmi dikelola kampus, yang menjual makanan murah dengan kualitas gizi yang terjamin. Sehingga, tidak sembarangan makanan bisa dijual dan dikonsumsi secara bebas. Bukankan urusan bersih, sehat dan halal adalah utama dalam makanan. 

Terlepas dari itu semua, saya sangat sadar bahwa menciptakan kampus yang ideal tidaklah bisa dilakukan secara sepihak. Selain adanya kebijakan dan manajemen yang baik, dibutuhkan juga mahasiswa yang tidak hanya banyak kuantitasnya, tapi juga berkualitas. Apalagi dengan keberadaan kampus yang ada di kota besar, sudah selayaknya menjadi kampus favorit yang memberi banyak manfaat kepada masyarakat, sekalipun dikenal sebagai kampus negeri termurah. "Masih untung murah, jadi jangan berharap banyak!" Jargon itu mungkin benar, tapi selama bisa menjadi lebih baik, kenapa tidak?

We [heart] UIN!

Komentar