Siapa yang tidak kenal dengan puisi. Meskipun sampai saat ini, puisi hanya dianggap sebagai produk yang hanya ma(mp)u dihasilkan oleh segelintir orang saja, sesungguhnya setiap insan siapa pun dia, tidak dapat mengelak bahwa kehidupannya selalu berada dalam ruangan puisi. Setiap hari, siapapun, adalah penyair. Karena disadari atau tanpa disadari, setiap kata dan tutur bicara yang diucapkan seseorang mengandung banyak sekali metafora, personifikasi, dan gramatika lainnya, yang bisa hadir dan duduk manis dalam puisi. Hanya saja, mengapa kita harus ditakdirkan hidup dalam lingkungan puisi, lebih jauhnya harus sesering mungkin menyetubuhi puisi? Mengapa pula harus menjadi penyair setiap hari?
Suatu ketika, saya pernah mengikuti suatu workshop tentang membaca puisi. Membaca dalam artian cara bagaimana kita harus menyelami sebuah puisi dengan membacanya hanya untuk diri sendiri (silent reading). Hawe Setiawan, sang pemateri, menuturkan bahwa sesungguhnya puisi adalah cara untuk mengakui sebuah keberadaan. How the manner to appreciate something. Puisi adalah pengakuan seseorang terhadap suatu hal, suatu keadaan, I would like to appreciate you.
Seorang teman mengatakan bahwa katanya, puisi adalah ungkapan batin. Tampaknya, banyak juga yang mengartikan puisi demikian, sekaliber penulis puisi yang masih pemula. Pemaknaan yang sederhana ini bisa kita tarik sebagai sebuah wacana, yang bisa kita jadikan jalan terdekat untuk mengapresiasi keberadaan suatu hal. Karena tidak sah dikatakan mengakui keberadaan suatu hal, atau seseorang, jika hanya mengungkapkannya lewat lisan, bahasa fisik, dan tendensinya hanya eksplisit semata. Berbeda dengan puisi. Pengakuan yang dilahirkan seorang penyair lewat kekuatan makna dalam puisinya, merupakan bentuk transcendental yang utuh dengan system yang lengkap.
Ketika seseorang menulis puisi semisal ia dalam keadaan galau, maka sesungguhnya ia tengah mengakui keberadaan galau, menghargainya dan memosisikannya sebagai the real object of art. Begitu pun ketika seseorang menulis puisi untuk orang lain, maka sesungguhnya ia mengakui keberadaan orang yang dimaksudkannya. Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa hanya seorang penyairlah yang senantiasa mengakui keberadaan suatu hal, sebagai bentuk penghargaan dan perhatian, ketika di dunia ini tidak ada orang yang mengakui keberadaannya. Sebagai contoh, siapa yang dengan serius mengakui keberadaan puntung rokok dalam asbak, selain penyair yang menyematkannya sebagai “frasa mulia” dalam puisinya?
Lalu pertanyaannya, siapa yang membutuhkan penyair? Peranyaan semacam ini masih punya relevansi dengan pertanyaan “siapa yang membutuhkan seorang nabi?”. Pemikiran semacam ini berangkat dari sebuah gagasan cemerlang penulis puisi Acep Zamzam Noor, yang mengatakan bahwa penyair adalah warasat al-anbiya, pewaris nabi. Karena menjadi nabi bukanlah sebuah profesi, maka koherensiasinya menjadi penyair juga bukan profesi. Lebih lanjutnya, Acep mengatakan menulis (dan penulis) puisi adalah sebuah panggilan.
Meskipun kita disebut penyair setiap hari, belum sah menjadi penyair jika belum menyadarinya. Dan langkah kongkret yang bisa kita cerna adalah senantiasa belajar mengakui keberadaan apapun dalam kehidupan ini, sebagai suatu titik profetikisme yang menjadikannya sebagai paradigma bahwa apapun dalam kehidupan ini adalah makhluk Allah, yang juga diakui keberadaannya oleh Allah. Sedikit kita tengok, bagaimana puitisnya Allah dalam membimbing kita lewat Al-Quran yang sangat puitis. Bukankah dengan kita menyelami Al-Quran secara mendalam, alam bawah sadar kita akan merasakan sebuah pengakuan Tuhan terhadap makhluk-Nya, betapa pedulinya Allah terhadap makhluk penuh dosa sekali pun. Dengan tidak mengatakan Al-Quran sebagai sebuah karya sastra, dalam hal ini puisi epic /prosaic, itulah gambaran bagaimana indahnyamengungkapkan sebuah pengakuan keberadaan melalui puisi. Tidak hanya liteter secara gramatika, tapi lebih mengejar fungsi sastra yang docere (memberi nikmat), movere (menggerakan), dan delectare (mengajarkan).
Berkaca pada sejarah, penyair dalam kasta pemerintahan mana pun, memiliki derajat yang tinggi di mata masyarakat. Alasannya sederhana, karena selalu mengakui keberadaan sebagai bentuk sosialisasi, adaptasi dan enkulturasi yang tanpa sadar, turut membentuk masyarakat madani. Maka, patut disalahkan orang yang mengatakan puisi hanya untuk dikonsumsi oleh kalangan perempuan, sebagai symbol feminisme atau lebih jauhnya symbol kelemahan, sehingga asumsi itu mengembang pada pandangan sinis jika ada laki-laki yang menulis puisi. Ataupun orang yang mengatakan bahwa penyair adalah orang ter-lebay yang pernah hidup di dunia ini, dengan asumsi jelek seputar “berambut gondrong”, “jarang mandi”, dan lain sebagainya.
Menggeluti pemahaman masyarakat yang masih “miskin” seputar kepenyairan dalam dunia puisi ini, sudah sepatutnya kita yang paham hal itu, yang masih mengakui keberadaan dan masih ingin diakui dan dihargai, yang berkata demikian divonis moral oleh keadaan dan kehidupan. Sekali lagi, mari kita bangunkah jiwa kepenyairan kita dengan “berani” menulis puisi sebagai bentuk pengakuan terhadap segala hal, semua makhluk, dan tentunya sang kholik. Wa allahu a’lamu bi ash-showabi.
Komentar
Posting Komentar